Presiden Jokowi kemarin mengumumkan akan melakukan pembatasan sosial berskala besar dengan diiringi penetapan darurat sipil untuk mencegah Corona. Tidak memilih karantina wilayah seperti dilakukan dan diusulkan banyak pemimpin daerah, seperti Wali Kota Tegal Dedy Yon Supriyono dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Namun, Jokowi tak menjelaskan secara rinci alasannya. Cuma bilang darurat sipil bisa mengefektifkan pembatasan sosial berskala besar. Untungnya ia puna orang kayak Doni Monardo yang kini menjabat Kasatgas Covid. Dari mulutnya saya tahu kebijakan itu diambil karena pemerintah takut gagal mengaplikasikan karantina wilayah alias lockdown seperti di negara lain dan takut perekonomian memburuk.
Pertama-tama perlu Pak Presiden ketahui bahwa, permintaan karantina wilayah tumbuh dari masyarakat bawah. Dari warga kampung yang berinisiatif menjaga tempat tinggal dan diri mereka dari virus Corona ketika Anda masih kebingungan ambil kebijakan. Ketika Anda tak punya perencanaan yang baik untuk membuat warga tetap hidup.
Kondisi tersebut beda dengan Italia yang gagal melaksanakan lockdown dan korban Corona di sana sampai puluhan ribu jiwa. Di Italia pemerintahnya tegas. Punya rencana yang baik. Namun warganya bandel. Menganggap Corona bukan masalah serius dan lebih suka melakukan aktivitas di luar ruangan. Bayangkan, 100 ribu warga kena denda karena mengabaikan aturan lockdown.
Kalau Anda tak percaya, coba minta stafsus milenial Anda untuk googling sejenak. Yang mana saja boleh. Karena pasti semuanya gadget savvy. Suruh mereka ketik kata kunci: city major in Italy angry to their people. Dengan bahasa Inggris salah seperti yang saya ketik itupun, mereka akan mudah menemukan video wali kota di Italia marah ke warganya yang tak patuh aturan lockdown. Sampai misuh-misuh, Pak.
Jadi bukan karena kebijakan lockdown salah dan tak bisa mencegah Corona. Melainkan warganya memang bandel. Pak Presiden semestinya bangga dengan inisiatif warga Indonesia. Mereka sudah sadar bahaya Corona dan siap menyukseskan program karantina wilayah seandainya diberlakukan. Enak sekali kan Anda jadi presiden, tak perlu misuh-misuh buat bikin lockdown sukses.
Sayangnya Anda terlalu pesimis dengan warga sendiri. Penyakit kebanyakan elite. Menganggap masyarakat, terutama dari kalangan rakyat kecil, susah ditertibkan. Mana dulu jargon kampanye untuk tetap optimis dan bersama rakyat? Halah mbel, Pak.
Sekarang Anda minta stafsus milenial Anda googling lagi dengan kata kunci: what we can learn from lockdown in China. Kali ini sebaiknya minta ke dik Putri Tanjung. Karena sebagai anak bos media dia pasti tahu mana media kredibel dan tidak dalam memberitakan soal lockdown di Tiongkok.
Dik Putri pasti nemu berita dari The Guardian, Washington Post, Wired, dan The New Yorker di posisi paling atas. Saya sudah baca semuanya. Nah bapak silakan minta dik Putri membacakannya. Kalau perlu ajak Lord Luhut mendengarkannya juga. Bapak dan Lord Luhut akan tahu kalau lockdown di Tiongkok bisa menekan drastis angka persebaran Corona. Sudah hampir tak ada pasien baru. Mereka kini juga berada di posisi tiga jumlah korban Corona global. Bukan lagi tertinggi.
Kata bapak kan tak boleh anti Cina. Kalau perlu belajar dari negara itu. Nah ini saatnya, Pak. Langkah mereka sudah benar. Saatnya Anda mengikutinya.
Oya Anda kan takut dengan dampak ekonominya. Begini, Pak, Tiongkok juga terkena dampak ekonomi. Besar sekali. Mereka memang negara kaya, tapi tetap saja kesusahan. Sebut saja industri penerbangan mereka terancam rugi miliaran dolar. Belum di pasar saham. Apalagi negara tujuan dagang mereka, seprti Amerika Serikat yang punya hubungan codependency sekarang sedang parah-parahnya terdampak Corona. Tapi mereka berani ambil risiko demi hari depan yang lebih cerah. Demi mempertahankan kehidupan warganya.
Tiongkok sadar, Pak. Seorang warga yang hidup bisa turut memperbaiki nasib perekonomian di masa depan. Namun ekonomi yang sehat dengan jutaan warga mati hanya akan bikin sebuah negara semakin terpuruk. Karena warga adalah SDM. SDM adalah janji kampanye Anda. Menyelamatkan SDM sama dengan merealisasikan janji kampanye, Pak.
Bapak tahu kan kalau janji adalah utang? Kalau tak tahu coba tanya Kiai Ma'ruf. Pasti dikasih sebuah maqolah Arab dari kitab Taisirul Kholaq yang berbunyi, al wa'du dainun yang dalam makna pegon Jawa berarti utawi janji iku utang. Utang harus dibayar. Atau jangan-jangan bapak termasuk mazhab tukang ngutang yang ketika ditagih lebih galak?
Lagipula kebijakan karantina wilayah yang diatur dalam UU nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan mengatur kewajiban pemerintah memberi kebutuhan hidup dasar dan pakan ternak masyarakat. Ada di Pasal 55, Pak. Bisa minta bacakan stafsus milenial Anda yang bernama Aminudin Ma'ruf. Dia kan aktivis tuh. Pasti cepet nyambung dengan pasal-pasal berpihak ke rakyat.
Ini penting di tengah gonjang-ganjing ekonomi dan banyak orang tak bisa kerja. Penting buat mereka yang rentan karena tetap harus kerja keluar rumah. Kan lebih baik mereka di rumah terus dikasih makan negara. Jiwanya aman, perutnya aman.
Insyaallah bapak juga akan dapat pahala. Kalau masih tak percaya coba tanya ke Kiai Ma'ruf. Beliau kemungkinan akan memberi jawaban pakai sebuah dalil yang berbunyi, alyadul ulya khairun minal yadul sufla. Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Artinya ada kebijakan bapak juga bisa bernilai pahala sedekah. Subahallah ya.
Peluang dapat pahala itu bakal hilang kalau bapak sekadar menetapkan pembatasan sosial berskala besar dan darurat sipil. Dua kebijakan itu tak punya konsekuensi pemberian kebutuhan hidup dasar dan pakan ternak warga. Bapak justru bisa dicap pelit. Nah, justru bisa didalilin lagi sama Kiai Ma'ruf bahwa albakhilu batil atau kikir membawa kebatilan.
Soal darurat sipil, mudharatnya banyak sekali, Pak. Kebijakan yang berdasar Perppu nomor 23 tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya ini berisi pasal-pasal berpeluang represif. Karena peruntukannya memang lebih pas dalam kondisi perang. Seperti saat dulu dibikin Indonesia masih dalam era revolusi.
Lihat saja misalnya Pasal 13 yang melegalkan pemerintah untuk meminta semua jenis pemberitaan radio dan percakapan telepon. Pasal 17 yang melarang penggunaan alat komunikasi. Begitu juga Pasal 19 yang aparat boleh memaksa warga tetap di rumah. Memangnya kita sedang dalam kondisi Perang Dunia I? Tidak, Pak.
Kalaupun tujuannya menertibkan warga di rumah, UU Nomor 6 tahun 2018 sudah mengatur kok soal penjagaan wilayah yang dikarantina oleh polisi dan petugas kesehatan. Masyarakat juga wajib mematuhi karantina. Sudah cukup lah dengan itu, Pak. Tak perlu mengondisikian kondisi ini selayaknya masa perang. Salah-salah malah bapak bisa dikudeta loh sama militer karena kekuatan mereka menguat denga kebijakan itu. Memang mau turun cepat tak sampai pemerintahan periode kedua tuntas?
Kondisi dalam darurat sipil bisa menambah tingkat kepanikan. Akhirnya perilaku ekonomi tak terkendali dan imun tubuh warga melemah karena stres. Bukan teratasi, malah lebih banyak warga yang kena Corona. Nauzubillahi min dzalik.
Sudah ya, Pak. Terakhir saya mau kutipkan ucapan presiden Ghana: kami dapat menghidupkan lagi ekonomi, tapi tak bisa menghidupkan lagi manusia. Kecuali bapak punya stafsus milenial model Nabi Isa yang bisa menghidupkan orang mati, jangan bertaruh dengan nyawa rakyat Anda!
Lebih Baik Karantina Wilayah daripada Darurat Sipil, Pak Jokowi
Otherby Ahsan Ridhoi 1 April 2020 6:33 WIB
Komentar