Raja Belanda Minta Maaf, Perlukah Indonesia Lakukan Hal Serupa?

Other

by Rizka Nurul

Raja Belanda, Raja Willem-Alexander dari kerajaan Belanda bersama Ratu Maxima Emmen berada di Indonesia sejak Selasa hingga Jumat, 10-13 Maret 2020. Kemarin (10/3), Presiden Joko Widodo menyambutnya di Istana Bogor bersama ibu negara.

Kunjungan ini justru perbincangan di media sosial khususnya. Pasalnya, Raja Willem mengembalikan keris Naga Siluman milik Pangeran Diponegoro secara resmi ke Indonesia. Beberapa ahli sejarah dilibatkan dalam verifikasi benda pusaka tersebut.

Ada beberapa pihak yang meragukan keaslian keris tersebut. Bahkan di timeline Twitter ramai diperbincangkan persamaan foto keris yang dibawa Raja Willem dan yang ada di lukisan Pangeran Diponegoro. Semua jadi ahli keris dadakan.

Bukan hanya itu, Raja Willem juga meminta maaf atas kejadian masa lalu atas Indonesia. Permintaan maaf tersebut ia jelaskan karena setelah proklamasi, Belanda masih melakukan penyerangan kepada Indonesia. Ia juga menyampaikan rasa gembiranya bahwa masa lalu tidak mengganggu hubungan diplomatik dan ikatan kuat antara masyarakat Indonesia dan Belanda.

Raja berumur 52 tahun tersebut juga mendatangi Taman Makam Pahlawan Kalibata. Sebelum itu, ia beranjak ke Menteng Pulo dimana terdapat pemakaman Belanda di sana.

Permohonan maaf tersebut dilandasi atas agresi Belanda terhadap negara yang sudah merdeka. Netizen Indonesia tentu merasa berhak menagih permintaan maaf saat masa kolonial. Sedangkan Netizen Belanda justru perlu mendapat permintaan maaf serupa karena dalam masa agresi tersebut, pihak Belanda juga kehilangan banyak pasukannya. Belum lagi, penyiksaan yang dilakukan kedua pihak.

Seringkali kita terbiasa dengan kesalahan diri sendiri dan berfokus pada kesalahan orang lain. Bahkan tidak jujur dengan masa lalu sendiri.

Belanda memang telah melakukan kejahatan perang. Namun, pihak Indonesia juga pernah melakukannya. Tentara Belanda pernah dicincang ketika masuk suatu kampung di daerah Bandung. Rumah Belanda dikepung dan mayatnya dibuang ke Kali. Dalam sebuah artikel di Historia juga diceritakan bahwa kejahatan tersebut terjadi setelah Indonesia merdeka.

Tak cukup maaf saja, Politisi PKS, Mardani Ali Sera merasa Indonesia perlu mendapat kompensasi atas hal tersebut. Baginya, permohonan maaf tersebut dianggap terlalu lama hingga 75 tahun. Jika permintaan tersebut tulus, menurut Mardani seharusnya permintaan maaf Raja Belanda tidak perlu dipisahkan antara sebelum dan setelah proklamasi seperti yang dilansir detik.com.

Hal yang sama juga ditemukan dalam konsep Khilafah. Rasulullah tidak pernah menyebutkan sistem pemerintahan Islam. Masa Khilafah sendiri baru dibentuk setelah Rasulullah wafat di bawah kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Perseteruan antara siapa yang pantas memimpin diperdebatkan. Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali Bin Abu Thalib juga memiliki banyak masalah dalam kepemimpinan meski secara personal merupakan pemimpin idaman. Tak ada jaminan kesempurnaan seseorang membuat organisasi yang dipimpin menjadi baik juga. Bahkan ketiganya meninggal dibunuh oleh penganut fanatis lawannya.

Pada masa Ummayyah dan Abbasiyyah, Islam berada di puncak kejayaan. Penyebaran islam menyebar hingga Eropa dan ujung Afrika. Namun, pejabatnya penuh dengan korupsi dan nepotisme. Pembunuhan tak jarang terjadi karena jabatan. Sehingga kampanye pembangunan kembali Khilafah, tentu menjadi pertanyaan benarkah itu yang ideal?

Kita perlu memahami bahwa ada masa lalu yang perlu kita akui. Sepatutnya itu kemudian jadi pembelajaran tersendiri sehingga tidak lagi terjadi.

Komentar

Tulis Komentar