Seeking The Imam, Film Dokumenter tentang Eks ISIS

Review

by Ahsan Ridhoi



“Jangan sampai ada yang tertipu ISIS lagi,” ujar Dhania, karakter utama dalam film Seeking The Imam yang ditayangkan di Gedung Tempo, Rabu 4 Maret 2020. Ia adalah korban propaganda ISIS di media sosial dan memutuskan berangkat ke Suriah pada 2014.

Saat berangkat, usia Dhania masih 17 tahun dan masih duduk di bangku SMA. Ia rela meninggalkan sekolah demi bisa tinggal di wilayah ISIS yang menurut propaganda organisasi teroris itu penuh ketenteraman dan makmur sejahtera di bawah kendali kekhalifahan.

Tak mau berangkat sendiri, Dhania mengajak serta orang tua, adik, dan kakaknya. Mereka bersama-sama tinggal di Suriah selama lebih kurang setahun dan melihat fakta kehidupan di wilayah ISIS tak semanis propagandanya di media sosial.

Kini, Dhania dan keluarganya telah kembali ke Indonesia. Mereka berhasil kabur dari wilayah ISIS dan menghindar dari kejaran para kombatan. Karena peraturan ISIS melarang orang yang telah bergabung keluar dari wilayah kekhalifahan dan bagi yang kabur dikenakan hukuman paling berat mati.

Dhania dan keluarganya menyesal pernah bergabung dengan ISIS. Kecuali ayah Dania yang masih berada dalam lapas pemerintah Indonesia, mereka aktif mengampanyekan pencegahan terorisme, pesan perdamaian, dan kontra narasi propaganda ISIS.

Peran Keluarga Penting


Dalam diskusi usai penayangan eksklusif film Seeking The Imam, Dhania menekankan pentingnya peran keluarga dalam menangkal propaganda ISIS. Kata kuncinya adalah kebersamaan.

Menurutnya, kebersamaan dalam keluarga bisa menjadi benteng propaganda ISIS. Sebab, berkaca dari pengalaman pribadinya dan banyak keluarga lain yang bergabung dengan ISIS, ketidakharmonisan dalam hubungan keluarga berperan besar mendorong masuknya propaganda ISIS.

Orang tua, kata Dhania, mesti lebih dekat dengan anak-anaknya dan membuka ruang komunikasi dua arah. Sehingga anak bisa mendiskusikan segala sesuatu dengan mereka dan punya lebih banyak waktu bersama.

Dengan begitu, seorang anak tak akan lebih banyak menghabiskan waktu bermain media sosial, tempat ISIS melancarkan propagandanya. Para orang tua pun bisa lebih mengawasi kecenderungan tingkah laku anaknya. Saat sudah mengarah kepada ide-ide ekstrem, bisa segera direm.

Tak cuma itu, orangtua juga harus mau mendengar dan percaya pendapat anak. Sehingga, ketika orang tua yang terpapar lebih dulu, bisa mendapat pandangan lain dari anaknya. Masalahnya adalah ketika anaknya masih kecil. Maka, orangtua juga harus membuka komunikasi dengan anggota keluarga lain dalam lingkup lebih besar.

Penting Verifikasi Konten Media Sosial


Di acara penayangan Seeking The Imam ini, hadir pula Direktur Ruangobrol, Rosyid Nurul Hakiim. Ia mengatakan bahwa saat ini masih banyak propaganda ISIS dan terorisme di media sosial, meskipun ISIS sudah bubar.

Propaganda tersebut, kata Hakiim, menggunakan sentimen kasus kekerasan pada umat Islam seperti yang terjadi di India saat ini. Hal ini menurutnya seperti api dalam sekam yang bisa membakar lumbung padi sewaktu-waktu bila tak segera dipadamkan.

Oleh karena itu, melalui Ruangobrol Hakiim melakukan pemantauan terhadap propaganda-propaganda terorisme dan ISIS di media sosial guna memetakan langkah pencegahan dan kontra narasi.

Hakiim pun menekankan agar publik tak cepat percaya pada konten yang tersebar di media sosial, khususnya berita yang berbau sentimen kesukuan dan keagamaan.  Ia mengimbau kepada publik melakukan verifikasi atas konten-konten tersebut ke pelbagai sumber lainnya.

Hakim berharap ke depan propaganda ISIS di media sosial bisa dicegah dengan kerja sama antara pemerintah dan lembaga masyarakat.

Komentar

Tulis Komentar