Fawzia Koofi, Pejuang Perdamaian dan Hak Perempuan di Afghanistan

Other

by Ahsan Ridhoi

27 Februari 2019, Fawzia Koofi menjadi delegasi Pan-Afghanistan di dalam sebuah dialog perdamaian antara pemerintah Afghanistan dan Taliban yang difasilitasi Amerika dan Rusia, di sebuah hotel di Moskow. Rapat itu dihadiri 70 orang, Koofi menjadi satu dari dua wanita yang hadir di dalamnya.

“Afghanistan saat ini merepresentasikan beragam pandangan, bukan hanya satu ideologi,” kata Koofi dalam rapat itu seperti dilansir BBC. Kalimatnya tertuju kepada pemerintah Afghanistan dan Taliban yang duduk mengitarinya.

Mendengar pernyataan Fawzia, beberapa delegasi Taliban langsung menatap ke arahnya. Koofi merasakannya sebagai tatapan yang bertujuan mengintimidasi, tapi ia tetap melanjutkan argumennya.

Fawzia Koofi meminta perdamaian antara Taliban dan pemerintah Afghanistan segera tercapai agar tak lebih banyak korban jiwa di kalangan sipil. Karena, menurutnya, perang berkelanjutan akan merenggut lebih panjang masa depan anak-anak Afghanistan.

“Taliban menolak usul perdamaian karena menganggap pmerintahan Afghanistan saat ini adalah pemerintahan boneka,” katanya.

Tak berhenti sampai di situ, Fawzia meminta perempuan diberi hak setara di Afghanistan. Satu hal yang telah hilang sejak Taliban menguasai Afghanistan pada 1991. Taliban melarang perempuan bersekolah dan bekerja, bahkan wajib menggunakan burka ketika berada di luar rumah. Konsekuensi dari pelanggar aturan tersebut, adalah penjara sampai hukuman mati.

Kebijakan diskriminatif Taliban itu telah merenggut masa depan perempuan Afghanistan, termasuk Koofi. Lahir dari keluarga mapan, Fawzia Koofi bercita-cita menjadi dokter. Ia masuk fakultas kedokteran di Universitas Kabul pada 1995 atau empat tahun setelah Taliban melakukan penaklukan wilayah demi wilayah Afghanistan.

Pada 1996, Fawzia pertama kali melihat pasukan Taliban dari jendela apartemennya, di Kabul. Terhitung hari setelah itu, Taliban telah menguasai ibu kota Afghanistan itu dan pemerintahan. Lalu berlakulah kebijakan perempuan dikeluarkan dari tempat kerja dan sekolah. Cita-citanya menjadi dokter sirna.

Tapi Fawzia tidak meninggalkan Kabul. Ia mengajar bahasa Inggirs secara sukarela untuk anak-anak perempuan yang kehilangan pendidikan secara sembunyi-sembunyi. Ia pun aktif melakukan perlawanan atas kebijakan Taliban degan risiko mati.

“Saya tak pernah membeli burka. Karena saya tak mau mengeluarkan uang untuk satu hal yang tak saya yakini,” ujarnya.

Kebijakan diksriminatif kepada perempuan, kata Fawzia, diambil Taliban berdasarkan hukum Islam. Namun, menurutnya, sumber hukum Islam adalah al-Qur’an dan banyak sekali interpretasi terhadap isinya.

“Saya banyak membaca pendapat ulama dari seluruh dunia, banyak yang moderat dan menempatkan perempuan setara dalam Islam. Taliban mengikuti interpretasi ekstrem atas Al-Quran,” katanya.

Namun, Fawzia akhirnya mesti mengalah karena perlawanannya mulai mengancam jiwanya. Ia terpaksa memakai burka.

Setelah Taliban jatuh pada 2001 akibat serangan Amerika Serikat dalam operasi War On Terror pasca peristiwa 9/11, angin segar datang bagi perlawanan Fawzia Koofi kepada kebijakan diskriminatif Taliban. Ia mengencangkan lagi perlawanannya. Kali ini ke tataran internasional dengan bekerja di PBB untuk melakukan rehabilitasi anak-anak Afghanistan.

Pada 2005 terselenggara pemilu pertama di Afghanistan pasca era Taliban. Fawzia Koofi maju sebagai calon legislatif dan terpilih. Lewat jalur parlemen ia megupayakan kesetaraan untuk wanita dan berhasil memberikan hak perempuan kembali bersekolah dan bekerja, meskipun belum untuk menduduki posisi penting di pemerintahan.

Rupanya angin segar itu tak berlangsung lama. Taliban cepat bangkit setelah hancur akibat serangan Amerika Serikat. Perang kembali berkecamuk di Afghanistan antara pemerintah dan Taliban. Ratusan jiwa meninggal dan ribuan menjadi pengungsi di negara lain. Fawzia Koofi menjadi sasaran Taliban.

Di akhir periode pertamanya sebagai anggota legislatif, pada 2010, ia menghadiri acara hari perempuan sedunia di Kabul. Dalam perjalanan pulang kendaraannya diberondong peluru oleh pasukan Taliban. Syukur ia selamat.

Perang yang berkelanjutan membuat Rusia turut mengintervensi Taliban agar berdamai dengan pemerintah Afghanistan. Inilah awal mula dialog demi dialog perdamaian terselenggara antara pemerintah Afghanistan dan Taliban, termasuk di Moskow.

Dalam pertemuan Moskow, Taliban masih tak sepakat perempuan menduduki beberapa jabatan strategis di pemerintahan. Mereka berdalih perempuan boleh bekerja, sekolah, jadi anggota parlemen, perdana menteri, tapi tidak presiden dan hakim. Karena Taliban menilai hakim dan pemimpin negara dalam hukum Islam yang mereka yakini harus dijabat lelaki.

Fawzia tida setuju dengan pernyataan delegasi Taliban, tapi ia memilih tak menanggapi lebih lanjut demi tujuan lebih besar yang ingin dicapainya: perdamaian di Afghanistan.

“Setiap orang ingin hidup dalam perdamaian. Kami lahir dan tumbuh di dalam perang. Baik generasi saya maupun generasi anak saya, semua tahu makna perdamaian,” kata Fawzia Koofi.

“Perdamaian berarti kemampuan untuk hidup bermartabat, adil dan bebas. Tak ada alternatif selain demokrasi.”

Komentar

Tulis Komentar