Cara-Cara Menenangkan Diri di Wilayah Perang

Other

by Arlian Buana



Thomas L Friedman dalam bukunya From Beirut to Jerusalem mengisahkan cara-cara warga Beirut, ibu kota Lebanon, menjalani hidup di tengah perang antara Hizbullah dan Israel. Cara mereka berusaha menjalani hidup senormal mungkin, meski bom bisa meledak tanpa peringatan apa pun--baik bom bunuh diri maupun bom dari pesawat.

Para sopir taksi di Lebanon, kata Friedman, mengandalkan radio sebagai penunjuk jalan yang aman untuk dilalui. Para penyiar radio memiliki kode-kode khusus untuk memberitahu kondisi jalan tanpa membuat pendengarnya khawatir.

Kode-kode itu antara lain: "Tuhan berada di kepala", yang menunjukkan sedang terjadi pengeboman dari pesawat tempur di jalan tertentu. Lalu "Tuhan ada di dada", yang berarti sedang terjadi baku tembak. Dan "Tuhan di dompet", artinya sedang terjadi razia lalu lintas.

Penduduk Beirut, menurut Friedman, telah berhasil melatih psikisnya untuk menghadapi kengerian perang. Bila baku tembak terjadi di luar apartemen mereka, maka mereka akan bermain kartu atau mengencangkan suara televisi. Bila baku tembak itu sudah sampai ke depan pintu mereka, barulah mereka bersembunyi di tempat aman. Bahkan, mereka mengsitilahkan bom sebagai kado dari langit.

Tentu cara-cara tersebut tak membuat perang menjadi menyenangkan. Justru semakin menunjukkan kengerian perang. Oleh karena itu, di bagian akhir bukunya, Friedman mengecam segala bentuk kekerasan dan berharap ke depannya dunia menjadi tempat yang aman. Karena menurutnya korban sesungguhnya dari perang adalah sipil tak bersenjata dan masa depan anak-anak yang hidup di tengah perang.

Agaknya, harapan Friedman lewat buku yang ditulisnya pada 1989 ini belum tercapai. Perang masih berkecamuk di Timur Tengah sampai sekarang. Hizbullah masih terlibat aktif dalam konflik tersebut. Lebanon masih menjadi tempat mencekam. Begitu pula Yaman, Irak dan Suriah.

Seperti dikisahkan Friedman, sipil di daerah perang saat ini pun mencoba mengakali hidup agar tetap dapat tenang. Salah satunya adalah Abdullah Mohammad, seorang lelaki yang hidup di Suriah. Walaupun ISIS telah kalah, tapi perang belum usai di negerinya. Belakangan Turki melancarkan serangan dan menimbulkan banyak korban jiwa.

Dalam video yang diunggah AJ+, Abdullah bersama putri kecilnya yang berusia tiga tahun tampak sedang bercanda. Abdullah membuat permainan menebak suara dengan putrinya. “Apakah ini suara jet atau bom?” tanya Abdullah. Jika suara bom, maka putrinya harus tertawa.

Tak lama kemudian, terdengar suara ledakan bom. Putri kecilnya pun tertawa. Tak tampak raut takut di sana.

Barangkali kalau suara bom tersebut hanya efek buatan, permainan keduanya akan terasa menyenangkan. Namun, ledakan itu berasal dari bom sungguhan. Permainan ini sengaja diciptakan Abdullah untuk mengalihkan putri kecilnya dari ketakutan di tengah perang. Abdullah tak mau putrinya trauma.

Putrinya memang terlihat senang, tapi apa mungkin ia bisa terlepas dari trauma ketika dewasa? Mungkinkah kengerian itu bisa benar-benar lepas dari benaknya?

[embed]https://twitter.com/ajplus/status/1229569613043818496[/embed]

Kembali ke Thomas L Friedman, pengalamannya hidup di Timur Tengah menunjukkan trauma perang tak pernah terhapus dari benak warga. Mereka mungkin bisa bersikap seolah segalanya telah berlalu, katanya, tapi suara bom, tembakan, dan wajah-wajah keluarga dan tetangga yang terbunuh akan terus mengisi mimpi mereka selamanya.

Satu-satunya yang bisa mengobati luka perang, kata Friedman, adalah dengan tak berperang.

Komentar

Tulis Komentar