Pemerintah Bisa Memulangkan 600-an WNI Eks-ISIS

Other

by Ahsan Ridhoi

Pemerintah Indonesia telah memastikan tak akan memulangkan 660 WNI eks-ISIS. Keputusan ini langsung diumumkan oleh Presiden Joko Widodo dengan alasan mereka sudah kehilangan status kewarganegaraan dan lebih tepat disebut sebagai anggota ISIS eks-WNI karena menjadi kombatan negara lain dan menyatakan bukan bagian dari Indonesia, sehingga kewajiban pemerintah untuk melindungi mereka telah gugur.

Sikap pemerintah itu mendapat dukungan dari Anggota DPR RI TB Ace Hasan Syadzily. Dalam acara Mata Najwa episode "Menangkis ISIS" beberapa hari lalu, ia menyatakan kebijakan pemerintah sudah tepat, khususnya dalam upaya memberikan perlindungan kepada 267 juta penduduk Indonesia dari ancaman terorisme.

Menurut Ace, pemulangan eks anggota ISIS berpeluang mengancam stabilitas keamanan nasional dan ketenteraman hidup masyarakat yang masih setia kepada negara Indonesia. Karena mereka bisa membawa virus teror kepada masyarakat lain.

Namun, pengamat terorisme Noor Huda Ismail memandang repatriasi eks-ISIS justru bermanfaat bagi pemerintah untuk memetakan jaringan ISIS di Indonesia. "Keep the enemy even closer," katanya.

Sebab, kata pendiri Institute for International Peace Building ini, tanpa memahami para eks-ISIS secara langsung, pemerintah tak akan mengetahui kantong-kantong mereka di Indonesia. "Mereka enggak muncul tiba-tiba. Mereka produk dari sebuah kelompok masyarakat tertentu," kata Noor Huda Ismail.

Noor Huda Ismail dalam program Mata Najwa memberi contoh eks-ISIS bernama Nurdhania yang kini telah menyatakan kembali setia kepada Indonesia. Dhania, menurutnya, bisa menjadi tokoh dalam upaya kontra narasi buatan ISIS dan mencegah orang lain masuk ke dalam organisasi teror tersebut.

Pengalman Dhania selama bergabung dengan ISIS dapat menjadi bahan bagi pemerintah untuk mendeteksi jejaring ISIS dan mencegah penyebaran ideologinya.  

Sementara, alasan tentang kewarganegaraan yang telah hilang, bisa dikatakan sedikit rancu. Pasalnya, tak ada negara yang mengakui ISIS sebagai sebuah negara. Maka, dengan menganggap mereka telah bergabung ke dalam negara tertentu, sama saja pemerintah mengakui ISIS sebagai sebuah negara. Hal ini tentu secara tidak langsung membuat pemerintah termakan tujuan ISIS untuk mendapatkan pengakuan sebagai negara dari negara lain.

Pengakuan secara tak langsung tersebut bisa digunakan anggota ISIS yang masih setia kepada idenya untuk melakukan propaganda ulang di masa mendatang. Sebuah hal yang kiranya akan kembali menyulitkan dunia, termasuk Indonesia, jika propaganda tersebut berhasil dilakukan. Karena dunia akan menghadapi mereka sekali lagi dengan skala yang belum dapat diukur saat ini.

Sebaliknya, melakukan repatriasi kepada eks-ISIS akan menempatkan mereka sebagai anggota organisasi terorisme yang pengembaliannya ke Indonesia bukan untuk mendapatkan pengampunan. Melainkan, mereka mesti mengikuti proses hukum yang ada di Indonesia. Dihukum atas kesalahannya dan menjalani proses deradikalisasi.

Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik dalam acara Mata Najwa pun menilai seseorang tak bisa serta merta hilang kewarganegaraannya. Melainkan undang-undang menyaratkan proses hukum sebelum mencabut status kewarganegaraan seseorang. Untuk melaksanakan proses hukum tersebut, pemerintah bisa memulangkan terlebih dulu 660 WNI eks-ISIS.

Sementara Anggota DPR RI Fadli Zon menyatakan, pemerintah tak bisa mengeneralisasi semua WNI eks-ISIS tersebut sebagai kombatan. Karena di dalamnya ada banyak perempuan dan anak-anak yang berstatus sebagai korban.

Menurut Fadli, pemerintah mesti melakukan profiling terhadap 660 WNI eks-ISIS. Untuk anak-anak dan perempuan yang menjadi korban diberikan pembinaan. Sedangkan untuk kombatan diberlakukan proses hukum sesuai ketentuan yang berlaku dalam tindak pidana terorisme.

Sehingga, mengingat hal-hal di atas, pemerintah sudah semestinya mempertimbangkan kembali pemulangan WNI eks-ISIS dengan diikuti penegakan hukum dan program deradikalisasi yang ketat dan sesuai aturan berlaku.


Komentar

Tulis Komentar