Kisah WNI di Siria: Perempuan Kebumen dan Penerbangan Pertamanya Meninggalkan Indonesia (3)

Other

by Eka Setiawan

Tiga tahun lalu, yakni di tahun 2017, SS, perempuan asli Kebumen Jawa Tengah, terbang dari Jakarta, Indonesia menuju Istanbul, Turki. Bagi dia itu adalah kali pertama naik pesawat terbang. Ada rasa grogi tersendiri di penerbangannya itu.

Perjalanannya ke bekas Ibu Kota Kekhalifahan Turki Ustmani itu bukan dalam rangka liburan, melainkan dalam rangka “berhijrah” ke sebuah tempat yang diyakininya bersama suami sebagai “Bumi Syam”. Tujuan utamanya bukan Istanbul Turki, namun hendak menyeberang ke selatan yakni masuk negara Siria. Kota Idlib Siria adalah tujuan pasangan suami istri (pasutri) itu.

SS saat itu berusia 30 tahun, sementara NH alias suami, usianya 24 tahun. Sebelumnya, dia mengenal calon suaminya itu dari teman-temannya satu pekerjaan di sebuah pabrik di Bekasi. SS ketika itu berusia 26 tahun, curhat kepada teman-temannya kalau ingin menikah. Keduanya lulusan Sekolah Menengah Kejuruan.

Akhirnya lewat sebuah proses taaruf, dia betul-betul jatuh hati pada NH. “Ngobrol-ngobrol sebulan, ya udah memutuskan nikah,” kata SS kepada ruangobrol.id akhir pekan lalu.

NH, kenangnya, langsung datang ke tempat tinggal orangtuanya di Kebumen itu, menyatakan keinginannya menikahi.

Setelah menikah, SS diminta NH alias suaminya itu untuk keluar dari tempat kerjanya. Fokus di rumah saja, mengurus rumah tangga, sekaligus sedikit-sedikit membantu suami berjualan tahu sumedang. Si suami yang asli Ogan Komering Ulu (OKU) Sumatera Selatan itu memang pekerjaannya berjualan tahu sumedang.

Sesampainya di Idlib, Siria, pasutri itu tinggal di sebuah rumah kontrakan. Ketika itu, Siria memang sudah pecah konflik. Banyak milisi muncul sebagai perlawanan terhadap rezim pemerintahaan Assad. Idlib ketika itu dikuasi milisi Al Nusra.

Di situ, mereka tidak sendiri, melainkan ada beberapa keluarga lainnya, pun dari negara yang lain juga tak hanya Indonesia. Dia bercerita kalau ada yang dari Bangladesh dan Afrika.

Sehari-hari, SS hanya berada di rumah, sama seperti di Bekasi dulu, mengurus rumah tangga. Sesekali pergi ke luar untuk berbelanja, memasak untuk suami tercinta. Suaminya kerap keluar, SS sendiri tak tahu pasti aktivitasnya. Sepengetahuannya, aktivitas suaminya sebagai relawan.

Keberadaan pasutri itu di luar negeri juga sebagai semacam “bulan madu” ke-2. Sebab, mereka belum punya momongan sejak meninggalkan Indonesia.

Ketika itu, dia seperti biasa menjalani kehidupan. Ada “rasa syukur” tersendiri, sebab mereka telah sampai dan hidup menetap di wilayah yang mereka yakini sebagai “wilayah yang diberkahi”. Keyakinan itu didapat SS ketika dulu bekerja di pabrik, kerap mendapatkan selebaran artikel yang membahasnya. Membahas tentang “akhir zaman”.

Ada semacam liqo’ alias pertemuan rutin yang kerap membahasnya. Teman-temannya, sebut SS, kerap mengikuti liqo’ itu, dan materinya sampai ke dia.

Materi-materi serupa juga didapat SS dari suaminya itu yang rutin ikut semacam pengajian di sebuah masjid di Bekasi. Makin yakinlah dia dengan perkara “akhir zaman” itu. Sehingga, ketika suaminya mengajak “hijrah”, dia tak menolak.

Soal biaya hidup di Idlib itu, SS tak tahu pasti sumbernya. Dia hanya mengatakan, suaminya kerap memberikan uang. Saat berangkat dari Indonesia pun dia  mengaku tak tahu pasti berapa banyak suaminya membawa uang.

“Berapa dolar ya, nggak tahu dulu, pokoknya yang tahu, yang pegang suami. aku tahunya minta aja,” lanjutnya.

Melahirkan di Tengah Konflik 

Ketika berada di Idlib itu ada kebahagiaan tersendiri bagi pasutri itu. SS hamil. Tentu saja adalah yang mereka tunggu-tunggu selama pernikahannya itu.

Namun, kebahagian tak berlangsung lama. Ketika SS hamil 3 bulan, berita yang tak disangka datang. Seorang teman suaminya mengabarkan kalau NH, meninggal dunia karena terkena ledakan bom. Hatinya runtuh, pecah tangis.

“Kata teman suami, sudah dikubur (jenazah suaminya). Tapi aku nggak pernah lihat jenazahnya, nggak pernah tahu kuburannya di mana,” ungkapnya sambil menangis.

Wurin sebenarnya tak kuasa dengan kondisi itu. Namun, ada beberapa temannya yang sama-sama warga negara Indonesia (WNI) juga mengalami nasib serupa: suami mereka meninggal karena konflik.

Jadilah para perempuan itu saling bantu, saling menguatkan hati. Beberapa orang di sana, warga negara lain, juga disebut kerap membantu. Mereka berbagi sembako untuk menyambung hidup sehari-hari. Sebab, dengan keadaan itu otomatis mereka, para istri itu tak punya penghasilan. Akhirnya di tengah konflik itu, lahirlah buah hati mereka.

Kondisi yang terus dinamis, membuat mereka, termasuk SS, sampai ke perbatasan Bab Al Hawa, di Siria bagian utara berbatasan langsung dengan Turki.

Akhir pekan lalu, mereka dipindahkan dari Bab Al Hawa ke Jabal Kili, yang juga wilayah perbatasan. Mereka kini hidup di tenda-tenda. Kondisi cuaca di sana sedang ekstrim, dinginnya membuat air keran hingga membeku jadi es.

Ada beberapa keluarga di sana, termasuk anak-anak, termasuk IS yang dari Jakarta dan AR  yang asal Tebing Tinggi Medan.

 

 

Suasana kamp pengungsi di Jabal Kili Siria

Foto: Narasumber

Komentar

Tulis Komentar