Sabtu (8/2/2020) selepas Asar waktu Siria, beberapa orang termasuk warga negara Indonesia (WNI) di Siria dipindahkan dari Border Al Hawa menuju Jabal Kili Siria.
Salah satu WNI yang ada di sana berinisial IS, perempuan asal Jakarta sekaligus berstatus sebagai ibu 3 anak. Mereka semua di sana sejak tahun 2016 lalu.
IS juga bersama AR di sana, perempuan yang asli Medan. Senada dengan AR, suami IS juga meninggal dunia di Siria. Sudah sejak 2 tahun lalu. Meninggal akibat bom serangan udara saat pecah konflik di Idlib, kota tempat di mana mereka pernah tinggal.
Mereka tak berafiliasi dengan kelompok ISIS, ketika itu di Idlib dikuasai oleh kelompok Al Nusra.
IS bersama suami plus 3 anaknya ketika tahun 2016 lalu meninggalkan Indonesia bersamaan. Untuk biayanya, mereka menjual mobil, motor termasuk tabungan hasil menyisihkan uang belanjaan.
Total uang Rp40juta mereka kumpulkan, terbang dari Jakarta Indonesia menuju Istanbul Turki sebelum menyeberang ke Siria. Uang itulah yang jadi perbekalan hingga saat ini.
Sebelumnya mereka tinggal mengontrak di sebuah kawasan di Jakarta Timur. Almarhum suaminya ketika itu adalah seorang pembuat jas. Bisnis itulah yang menghidupi mereka.
Saat itu, IS mengaku tak tahu detil aktivitas suaminya, hanya tahu ikut bergabung kelompok relawan kemanusiaan. Ada juga pengajian yang membahas perkara “akhir zaman” mereka ikuti, baik offline maupun online lewat artikel-artikel di internet. Untuk offline, biasanya diikuti di acara-acara bedah buku.
Kajian-kajian itulah yang akhirnya membuat mereka yakin untuk berpindah meninggalkan Indonesia ketika itu menuju Siria. Mereka yakini tempat baru itu adalah Bumi Syam, tempat yang dijanjikan sebagai wilayah paling ideal bagi Muslim untuk tinggal.
Sesampainya di Siria, mereka tinggal di Idlib. Suaminya tak setiap hari di rumah, karena, disebutkan IS, kerap pergi untuk urusan pekerjaannya sebagai relawan.
Mereka yang tinggal di sebuah rumah kontrakan bersama beberapa keluarga lainnya. Rumah kontrakan di Idlib yang mereka tinggali ada 4 kamar.
Di situlah, IS menjalankan perannya sebagai istri, sebagai ibu rumah tangga sekaligus “guru” bagi anak-anaknya.
“Saat di Idlib, saya di rumah aja ngurus anak, anak-anak berangkat itu kan belum bisa baca tulis, saya ngajarin anak sendiri aja biar bisa baca tulis,” katanya kepada ruangobrol.id.
Tiga anaknya itu paling besar berusia 9 tahun, kemudian 7 tahun, lalu paling kecil 5 tahun. Saat berada di Idlib itu, di tengah konflik, IS sempat mengalami keguguran saat hamil anak ke-4 mereka.
Bapak yang Rindu
Di sela-sela kehidupannya di kamp itu, IS bercerita kali pertama bertemu suaminya ketika sama-sama ikut pengajian rutin Minggu pagi di Jakarta. Dia dikenalkan oleh teman-temannya sesama anggota pengajian rutin itu.
Setelah dirasa cocok, menikahlah mereka, tinggal di sebuah rumah kontrakan. IS yang lulusan Manajemen Informatika sebuah perguruan tinggi di Jakarta, kemudian menjadi ibu rumah tangga.
Perempuan itu setiap hari beraktivitas laiknya ibu rumah tangga lainnya, mengurus suami, membesarkan anak-anak, sesekali keluar berbelanja.
Sekira tahun 2010 silam, dia sempat ditentang keluarganya ketika memutuskan untuk bercadar. “Katanya, kenapa kamu pakai cadar yang pakai cadar itu di Arab?,” ujarnya menirukan pertentangan dari keluarga.
Namun setelah diyakinkan bahwa dia punya riwayat sakit TBC dan kerap kambuh, akhirnya mau tak mau pertentangan itu luntur. “Dari pada saya pakai masker, mending sekalian aja pakai cadar,” lanjutnya.
Saat ini, di kamp Jabal Kili itu, IS bersama beberapa orang lain, termasuk para WNI tinggal. IS mengaku sempat mendapat telepon dari ayahnya di Indonesia.
“Nduk, kapan pulang? Saya jawab ya nggak tahu pak, nunggu prosesnya gitu. Kata Bapak saya ‘Cepat pulang Nduk’,” cerita IS.
Kini, di setelah dipindah ke Jabal Kili dari Border Al Hawa, IS bercerita kalau suhu di sana sedang ekstrim. Air dari keran sampai beku.
“Di sini kami tinggal di tenda-tenda, dingin banget,” ungkap IS.
Air keran membeku di Jabal Kili Siria akibat suhu ekstrim
Foto: Narasumber