Rangkuman Singkat Terorisme Tahun 2019

Analisa

by Kharis Hadirin

Tahun baru akan segera datang. Selama 2019, tentu banyak peristiwa yang terjadi. Dari sejumlah peristiwa, salah satu yang paling menarik adalah kasus-kasus terorisme. Bagaimana pun terorisme layaknya siklus tahunan yang terjadi tanpa jeda.

Setahun ini, intensitas aksi terror mengalami penurunan dua kali lipat dari tahun 2018. Sebagaimana dikutip melalui laman CNN Indonesia (20/11), Kapolri Jenderal Idham Aziz menyebutkan bahwa intensitas aksi tindak pidana terorisme di Indonesia pada 2019 menurun dibandingkan tahun sebelumnya.

Selanjutnya menurut Idham, aksi terorisme tahun 2019, hanya berjumlah 8 kejadian. Sedangkan pada 2018 lalu, ada 19 kasus. Namun, dari 8 kasus terorisme yang terjadi sepanjang tahun ini, paling tidak ada 4 kasus diantaranya yang cukup menyita perhatian publik tanah air.

Pertama, pada Juni lalu, dua orang yang diketahu ayah dan anak asal Dusun 3 Tokasa, Desa Tanah Lanto, Kecamatan Torue, Kab. Parigi Moutong, Sulawesi Selatan ditemukan tewas dalam kondisi leher tergorok. Peristiwa ini cukup menyita perhatian, pasalnya belakangan pelaku pembunuhan petani tersebut adalah anggota kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora.

Sepak terjang kelompok ini tak bisa dianggap remeh. Sejak pasca penembakan polisi di depan pos Bank BCA Palu pada pertengahan 2011, kelompok ini masih tetap eksis hingga hari ini. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menumpas jaringan ini, termasuk melalui operasi Tinombala hingga berjilid-jilid. Dana yang dihabiskan pun konon hingga ratusan milyar rupiah.

Kedua, terjadi peristiwa penusukan terhadap Jenderal TNI (Purn.) DR. H. Wiranto, SH., (Menko Polhukam) pada Kamis, 10 Oktober 2019 sekitar pukul 11.55 WIB. Kejadian tersebut terjadi seusai menghadiri acara di Universitas Mathla’ul Anwar sebagai pembicara tepatnya di pintu gerbang lapangan alun-alun Menes, Desa Purwaraja, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang, Banten.  Akibat peristiwa ini, Wiranto mengalami luka tusuk di bagian perut dan segera dilarikan menuju RSUD Pandeglang.

Polisi kemudian mengamankan pelaku penusukan di TKP beserta istrinya. Belakangan diketahui bahwa pelaku bernama Syahril Alamsyah alias Abu Rara dan Fitri Andriana Binti Sunarto yang merupakan anggota kelompok Jama’ah Anshorud Daulah (JAD) wilayah Bekasi pimpinan Abu Zee.

Ketiga, pada Selasa (13/11) pagi, terjadi bom bunuh diri di area komplek Polrestabes Medan Jl. HM. Said, Medan, Sumatera Utara. Dalam aksi tersebut, dua orang terluka dan satu orang meninggal dunia yang diketahui sebagai pelaku. Pelaku melakukan aksinya dengan menyamar sebagai driver ojek online.

Keempat, pada Jumat, 13 Desember 2019 pukul 12.30 Wita, sekelompok orang tak dikenal yang diduga terkait jaringan kelompok teros di Poso menembaki personel polisi yang tergabung dalam Operasi Tinombala. Penembakan itu sesaat sepulang dari menunaikan ibadah sholat Jum’at di Desa Salubanga, Kecamatan Sausu, Kabupaten Parigi Moutong, Sulteng ini. Seorang anggota polisi tewas.

Faktor Penurunan Intensitas Aksi Teror


Meski terjadi sejumlah peristiwa seperti tercantum di atas, namun juga tidak bisa diabaikan bahwa angka terorisme mengalami penurusan drastis. Kapolri mengatakan bahwa kepolisian berhasil menangkap 275 pelaku tindak pidana terorisme sepanjang 2019. Dari jumlah itu, sebanyak 2 pelaku sudah divonis, 42 orang dalam proses persidangan, 220 dalam proses penyidikan dan 3 orang tewas dalam proses penangkapan.

Menurut hemat penulis, paling tidak ada beberapa faktor yang menyebabkan penurunan angka aksi terorisme dalam sepanjang tahun ini.

Pertama, banyaknya tokoh-tokoh penting dalam jaringan yang telah tertangkap. Hal ini menjadikan kelompok seperti kehilangan figur yang dianggap bisa memompa semangat jihad dan mampu menggerakkan anggota kelompok untuk melakukan aksi.

Kedua, terungkapnya jaringan kelompok teror serta penangkapan orang-orang yang dianggap terlibat dalam jaringan tersebut. Kondisi ini tentu memaksa para anggota yang tersisa untuk memilih ‘tiarap’ atau falling down.

Dan terakhir, yakni berkurangnya jumlah SDM yang dianggap siap dan bersedia melakukan aksi amaliyah, termasuk tidak adanya dukungan dana memadai yang bisa membiaya aksi jihad mereka.

Melihat kondisi ini, tentu kita sebagai bangsa berharap agar peristiwa-peristiwa teror yang terjadi semakin terus berkurang. Meski toh tidak ada jaminan bahwa aksi semacam ini akan hilang, tentu tidak ada salahnya kita berharap. Sebab aksi teror, bukan saja mencederai rasa kemanusiaan namun juga menjadi musuh bersama.

Komentar

Tulis Komentar