Tentu Saja Bukan Soal Cadar dan Celana Cingkrangnya

Other

by Eka Setiawan

Ada saja kegaduhan di negeri ini. Setelah ada soal “buku merah” KPK, susunan kabinet baru pemerintahan Jokowi – Ma’ruf Amin, ini muncul lagi soal rencana larangan pakai cadar dan celana cingkrang.

Rencana itu muncul dari Fachrul Razi, Menteri Agama yang baru dipilih Jokowi. Statemennya menuai kontroversi, termasuk pula soal pemilihannya beberapa waktu lalu, kok (eks) tentara jadi Menteri Agama? Loh emang nggak boleh ya? Hehehe.

Kembali ke soal rencana larangan bercadar dan bercelana cingkrang tadi. Pernyataan Sang Menag mendapat protes, salah satunya dari Ketua Komisi VIII DPR, Yandri Susanto.

Yandri menilai, selain membikin gaduh, juga belum ada korelasi pasti dan penelitian antara pakaian dan paham radikal. (Vivanews.com, diakses Kamis 31 Oktober 2019 pukul 21.14 WIB).

Tentu saja, pernyataan Fachrul Razi ini juga menuai kontroversi dari masyarakat luas. Apalagi Indonesia ini sebagian besar masyarakatnya adalah Muslim, yang tentu saja sama-sama dirugikan jika itu benar-benar dilarang.

Memang, pada beberapa kasus terorisme (kelompok radikal) pelakunya memakai pakaian seperti itu. Teranyar itu penyerang Wiranto di Pandeglang, Banten, 10 Oktober lalu. Yang laki-laki celananya cingkrang, dan kebetulan yang perempuan bercadar.

Tapi apakah semua pelaku teror itu seperti itu pakaiannya? Jawabannya tentu tidak.

Pada aksi teror seperti itu, selain merugikan masyarakat luas, Muslim pun dirugikan tentunya. Bagaimana masyarakat yang cinta damai, agama yang cinta damai (dan tentunya agama apapun semuanya mengajarkan kedamaian), ternoda oleh segelintir manusia. Kebetulan saja dia memakai pakaian yang sudah jadi semacam stereotipe di Indonesia, bahwa mereka Muslim.

Lalu bagaimana menyikapinya? Apakah mendukung saja pernyataan Fachrul? Atau menolaknya? Inilah yang harus dikaji lebih dalam.

Melihat kasus teror yang pernah terjadi di Indonesia, tak semuanya pakai celana cingkrang loh. Insiden Thamrin pada Januari 2016 bisa dilihat. Bagaimana seseorang bertopi, berkaus ala distro, celana jeans, bersepatu kets plus membawa ransel, menodongkan pistol ke khalayak, menyerang polisi. Pakaian peneror itu nggak ada cingkrang-cingkrangnya bukan?

Lalu insiden di New Zealand, seorang lelaki “gaul” menyerang jamaah masjid saat Jumatan dengan senapan. Itu juga jauh dari “cingkrang”.

Memang, berpakaian seperti itu mengundang perhatian sendiri. Apalagi di tempat umum. Kalau dipakai di komunitasnya, sealiran, mungkin tak jadi soal. Malahan di komunitas yang sama, kalau kita hadir tak berpakaian seperti mereka, bisa-bisa malah jadi perhatian.

Tapi, sebaliknya, jika berpakaian seperti itu di khalayak umum, misalnya saja di mal, tentu akan jadi perhatian tersendiri. Minimal jadi perhatian sekuriti setempat yang setiap saat akan memperhatikan tingkah mereka.

Tak usah sekuriti lah, kita mungkin yang tak pernah memakai pakaian seperti itu juga pastinya akan memperhatikan (mudah-mudahan tidak pula mencurigai).

Tapi apa daya, di tengah cara berpikir yang amat dipengaruhi fenomena, bisa jadi memang stereotip peneror kerap dialamatkan pada mereka yang bercadar dan bercingkrang. Ini adalah buah dari pengalaman kejadian yang sudah pernah terjadi sejak belasan mungkin puluhan tahun lalu.

Yang perlu digaris bawahi adalah, teror adalah musuh bersama! Dia tidak boleh terjadi lagi, apalagi berkembang di negeri nan indah ini. Di bumi kita ini. Bukan cadar atau cingkrangnya, tapi lebih pada persoalan berpikir, merespons terhadap semua kejadian.

 

 

Komentar

Tulis Komentar