Budaya ‘Musik’ di Kalangan Aktivis Jihadi (2-habis)

Other

by Arif Budi Setyawan

Di kalangan para aktivis jihadi –dalam hal ini yang saya ketahui adalah yang terjadi di lingkungan Jamaah Islamiyah (JI)- selain mengenal nasyid-nasyid yang lazim beredar di lingkungan aktivis Islam, kami juga memiliki nasyid yang khusus beredar di kalangan kami.


Ciri khasnya adalah kami tak pernah tahu siapa grup nasyid yang melantunkannya dan beredarnya dari tangan ke tangan, tidak pernah ada di toko kaset umum. Biasanya sih kami hanya bisa mendapatkannya di acara bazar-bazar yang diadakan ketika ada acara tabligh akbar yang diadakan oleh kader-kader JI.


Kaset nasyid khusus itu biasanya sangat terbatas jumlahnya. Kemudian desain sampulnya juga sangat sederhana, tanpa mencantumkan siapa pelantun nasyidnya, dan hanya mencantumkan daftar lagu beserta liriknya.


Nasyid-nasyid khusus itu juga bisa menjadi semacam identitas bagi kami. Pernah suatu ketika saya bertamu ke sebuah keluarga yang tadinya hanya saya kenal sebagi keluarga tokoh Muhammadiyah dan menjual obat herbal. Tetapi pada suatu kesempatan saya mendengar lantunan ‘nasyid khusus’ dari tape recorder mereka. Akhirnya saya bertanya kepada sang Ibu yang menemui saya waktu itu.


“Itu kasetnya siapa Bu? Saya sudah cukup lama tidak mendengar nasyid itu," tanya saya.


“Oh itu punya anak saya yang lagi di rumah. Biasanya dia sehari-hari aktif di kegiatan dakwah di Solo bersama istrinya. Dia dulu alumni Ngruki,” jelas Sang Ibu. Jegerr…! Saya sangat terkejut.


Singkat cerita saya kemudian berkenalan sangan anaknya dan saya membuka jati diri saya sebagai salah satu kader JI di kota itu. Perkenalan itu nantinya membawa saya dan dirinya sempat bekerja sama untuk menghidupkan kembali dakwah JI di kota itu di tahun 2005 setelah sempat mati suri sejak pasca Bom Bali Oktober 2002.


Pada perkembangan selanjutnya, sejak mulai beredarnya video-video jihad sejak tahun 2000 muncul sebuah “budaya” baru di kalangan kami, yaitu digemarinya nasyid-nasyid berbahasa Arab yang selalu menghiasi sebuah video propaganda jihad.


Nasyid itu selalu menjadi “back sound” pada tayangan-tayangan dalam video propaganda jihad. Ada kebanggaan tersendiri bagi ikhwan yang mendendangkan nasyid berbahasa Arab itu, karena pada umumnya di Indonesia mayoritas nasyid yang beredar adalah berbahasa Indonesia atau Melayu. Budaya ini saya dapati mulai marak pasca Bom Bali 2002.


Budaya nasyid –yang saya anggap termasuk karya musik- juga sampai membuat Imam Samudra bersama Pak Amrozy dan Ustaz Mukhlas menggubah sebuah nasyid ketika berada di lapas. Dan entah bagaimana caranya rekaman nasyid mereka bisa beredar di kalangan kami. Ustaz Urwah –kasus Bom Marriot-Ritz Carlton- juga sempat menggubah beberapa nasyid yang kemudian beredar di kalangan terbatas. Kelompok MIT juga pernah meluncurkan sebuah ‘single’ nasyid berjudul –kalau nggak salah- “Bumi Poso Memanggilmu”.


Saking populer dan pentingnya kehadiran nasyid di kalangan aktivis jihadi, ISIS pun sampai punya sebuah Lembaga khusus yang menangani produksi nasyid-nasyid sebagai bagian dari propaganda mereka. Lembaga itu bernama “Muassasatul Ajnad”. Jika ada nasyid yang dirilis oleh “Muassasatul Ajnad” berarti itu nasyid resmi ISIS. Nasyid-nasyid resmi ISIS itu juga kemudian menjadi semacam identitas pelengkap mereka. Jika ada yang melantunkan nasyid resmi ISIS, besar kemungkinan ia dalah bagian dari para ‘Anshar Daulah’.


Mungkin hanya di kalangan para aktivis jihadi di masa lalu atau para ‘Anshar Daulah’ di masa kini, sebuah karya musik berjenis nasyid bisa dianggap sebagai sebuah ciri khas atau bagian dari identitas mereka.




Sumber ilustrasi: Pixabay.com

Komentar

Tulis Komentar