Eksklusivisme Para Pendukung ISIS yang Membawa Mereka Pada Ekstremisme (2-habis)

Other

by Arif Budi Setyawan

Masih melanjutkan bahasan dua faktor atau alasan utama yang membuat seseorang atau sekelompok orang yang bersikap eksklusif, menutup diri, dan menjauhi orang-orang yang tidak sepaham dengan dirinya.


Yang kedua: Mereka menjauhi orang-orang yang berbuat bid’ah (yang mereka sempitkan maknanya dengan setiap orang yang tidak sepaham dan menentang pendapat kelompoknya) berdasarkan sikap yang diambil oleh Rasulullah SAW kepada tiga orang sahabatnya yang tertinggal dari mengikuti Perang Tabuk.


Kisah tentang tiga orang yang tertinggal dari Perang Tabuk itu di kalangan penuntut ilmu lebih dikenal dengan hadits Ka’ab bin Malik RA. Sebuah hadits yang sangat panjang yang menjelaskan asbabun nuzul (sebab turunnya ayat Al Qur’an) surah At Taubah ayat 118. Hadits itu terdapat dalam Shahih Bukhari hadits no. 4066. [Mohon maaf, saya tidak bisa kutipkan teks terjemahan hadits tersebut di sini karena sangat panjang. Anda bisa mencarinya sendiri dengan petunjuk di atas]


Dalam hadits itu dikisahkan bahwa Rasulullah SAW dan para sahabatnya mengucilkan tiga orang itu sebab tertinggalnya mereka dari mengikuti Perang Tabuk tanpa udzur yang dapat dibenarkan. Pengucilan itu atas perintah Rasulullah SAW sampai Allah SWT menurunkan wahyu dalam perkara itu.


Kisah dalam hadits itu memang sarat akan pelajaran tentang kejujuran dan tekad yang tulus dalam taubat. Imam Nawawi –rahimahullah- memasukkan hadits ini di dalam kitabnya yang monumental “ Riyadhus Shalihin” dalam bab Taubat.


Tetapi saya menemui orang-orang yang berpikiran sempit yang menjadikan hadits di atas sebagai pembenaran dari sikap mereka menjauhi orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka. Mereka beralasan bahwa dalam hadits itu Rasulullah SAW dan para sahabatnya mengucilkan tiga orang yang “hanya” bermaksiat dalam satu perkara yaitu tidak mengikuti Perang Tabuk yang telah diwajibkan oleh Rasulullah SAW kepada semua kaum muslimin yang tidak memiliki udzur pada waktu itu. Lalu bagaimana dengan orang yang tauhidnya cacat atau sehari-hari banyak melakukan bid’ah dalam ibadahnya? Begitulah pemikiran mereka.


Mereka melupakan bahwa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya itu dilakukan ketika Islam telah memiliki “kekuasaan”, kemudian atas perintah Rasulullah SAW sebagai pemimpin tertinggi umat Islam, dilakukan oleh semua kaum muslimin, dan berlaku untuk kondisi saat itu.


Artinya, kaum muslimin boleh melakukan sebagaimana dalam hadits itu apabila setidaknya terpenuhi dua syarat yaitu: umat Islam sedang berkuasa (memiliki kekuasaan), dan atas perintah pemimpin kaum muslimin. Dia tidak bisa melakukannya sendiri dan berdasarkan pendapat pribadinya.


Sebenarnya sangat mengherankan jika mau berpikir lebih dalam. Pada kisah yang terdapat dalam hadits Ka’ab bin Malik RA di atas yang terjadi adalah seluruh kaum muslimin memboikot atau mengucilkan tiga orang yang bersalah. Sedangkan yang terjadi pada sekelompok orang berpikiran sempit itu adalah sebaliknya, mereka yang –jumlahnya sangat kecil- mengasingkan diri dari kaum muslimin.


Bukankah demikian? ISIS mendeklarasikan khilafah yang konon bagi seluruh kaum muslimin tapi pada praktiknya mereka mudah mengkafirkan atau setidaknya mengecam dan mencela kelompok-kelompok yang tidak mau bergabung atau berbaiat kepada mereka. Bukankah ini aneh?


Ketika orang yang baru belajar sedikit tentang Islam menjadikan hadits ini sebagai alasan atas sikapnya menjauhi orang-orang yang menurutnya ahli bid’ah atau tauhidnya tidak benar, tentu akan merugikan banyak pihak termasuk dirinya sendiri.


Orang seperti ini tidak memahami bahwa ada perbuatan-perbuatan baik yang masih harus dilakukan kepada sesama, bahkan Islam juga mengajarkan bagaimana adab dan akhlak terhadap musuh. Betapa banyak terjadi di masa lalu panglima perang atau pemimpin kelompok di sebuah negeri yang sedang berperang menghadapi pasukan Islam membelot kepada pihak pasukan Islam karena terkesan dengan akhlak para pasukan Islam.


Bukankah seharusnya ketika seseorang merasa lebih berilmu, ia memandang orang-orang yang belum mengetahui sebagaimana yang ia ketahui dengan pandangan kasih sayang, atau seperti pandangan seorang dokter kepada pasiennya.


Yaitu justru mendekatinya, menasehatinya, dan mengobatinya. Bukan dengan seperti pandangan seorang hakim yang hanya bisa memvonis ini salah, itu salah, ini bid’ah itu sesat, dsb, tanpa melakukan upaya perbaikan pada orang yang ia vonis itu. Bukankah dakwah adalah kewajiban setiap muslim?


Betapa banyak di sekitar kita orang yang pandai memvonis tetapi tidak tahu cara memperbaikinya. Betapa banyak di sekitar kita orang yang pandai mencela keadaan tetapi tidak tahu solusi untuk memperbaiki keadaan itu, atau bahkan banyak yang tidak mau berusaha menemukan solusinya.



Sumber ilustrasi: Pixabay.com

Komentar

Tulis Komentar