Eksklusivisme Para Pendukung ISIS yang Membawa Mereka Pada Ekstremisme (1)

Other

by Arif Budi Setyawan

Di antara orang-orang yang bersikap eksklusif yang pernah saya temui, saya mendapati orang-orang yang berpaham radikal atau yang kemudian bergabung dengan kelompok radikal adalah yang paling keras eksklusivismenya di antara yang pernah saya temui sebelumnya.


Saya pun mencoba meneliti dan mencari tahu apa yang menyebabkan mereka bisa seperti itu. Berdasarkan pengamatan dan penelitian saya selama ini, saya mendapati setidaknya ada dua faktor atau alasan utama yang membuat mereka bersikap eksklusif, menutup diri, dan menjauhi orang-orang yang tidak sepaham dengan dirinya. Dua hal ini masing-masing mempunyai dasar argumen yang sebenarnya benar, tapi mereka salah dalam memahaminya dan mengamalkannya.


Yang pertama:


Merasa paling benar dengan mengemukakan hadits-hadits terutama hadits tentang akhir zaman yang sesuai dengan realita mereka.


Orang-orang radikal para pendukung ISIS selalu menghubungkan dan menganggap apa yang sedang mereka lakukan dan yang sedang mereka hadapi dengan hadits-hadits tentang akhir zaman yang seringkali mereka kutip tidak utuh/lengkap. Misalnya hadits-hadits tentang akan hadirnya kembali periode khilafah ‘ala minhajin nubuwwah yang mereka klaim telah mulai terwujud dengan adanya daulah/khilafah ISIS, atau hadits tentang peperangan besar antara kaum muslimin dengan orang-orang kafir yang mereka klaim perang itu sudah dimulai, atau yang paling banyak mereka kutip untuk merekrut orang agar segera berhijrah adalah hadits tentang keutamaan bumi Syam di akhir zaman.


Dalam menyikapi akhir zaman sendiri, ada yang mengingkarinya dan ada pula yang terlalu gegabah dalam mencocokkannya dengan hadits. Padahal untuk memahami hadits-hadits tentang peristiwa akhir zaman dengan benar, perlu ada kaidah yang perlu dipahami agar kita tidak tergelincir dalam pemahaman yang salah.


Di antara sebab ketergelinciran mereka dalam memahami hadits-hadits akhir zaman adalah terlalu cepat mencocokkan realita dengan hadits tanpa adanya kajian yang mendalam. Melihat satu kecocokan antara keduanya, kemudian langsung menghukumi bahwa yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah realita tersebut.


Sebagai contoh, saat Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa di akhir zaman nanti umat beliau akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu golongan yang selamat (masuk surga tanpa masuk neraka terlebih dahulu). Kemudian sebagian pihak, tanpa kajian yang komprehensif dan mendalam terhadap hadits dan realita, langsung menghukumi bahwa yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah terkotak-kotaknya umat Islam dalam harokah, ormas, dan kelompok.


Selain itu mereka juga seringkali melupakan atau mengabaikan urutan-urutan peristiwa yang mengiringi sebuah realita akhir zaman. Untuk sampai pada pemahaman yang benar dalam menyikapi nash-nash akhir zaman, maka harus melihat urutan-urutan yang disebutkan di dalam hadits.


Sebagai contoh, antara peristiwa-peristiwa akhir zaman ada kembalinya khilafah ala minhajin nubuwwah, munculya imam Mahdi, keluarnya Dajjal, Turunnya Isa AS, penaklukan Roma, perang Malhamah Kubro,dll. Agar memiliki pemahaman yang utuh terhadap tragedi akhir zaman, ulama harus berijtihad untuk menyusun urutan-urutan dari kejadian tersebut. Yaitu dengan mengumpulkan semua riwayat yang shohih dan merujuk kepada pendapat para salaf dalam mengurutkannya.


Hal ini menjadi mendasar, karena jangan sampai seseorang mengkaji kecocokan sebuah hadits akhir zaman dengan realita, sementara fase sebelumnya belum terjadi. Sebagai contoh, di masa lalau ekspansi kerajaan Mongol ke negeri kaum muslimin menimbulkan kerusakan yang begitu besar dan di saat yang sama bangsa Mongol memiliki ciri-ciri yang sama dengan ciri fisik Ya’juj dan Ma’juj. Melihat kerusakan yang ditimbulkan dan ciri fisik yang sama kemudian sebagian orang berpendapat bahwa merekalah Ya’juj dan Ma’juj. Padahal, fase-fase sebelum keluarnya Ya’juj dan Ma’juj belum terjadi.


Berdasarkan pemikiran dan pemahaman -yang tidak utuh- terhadap hadits-hadits akhir zaman itu mereka lalu merasa lebih istimewa dari orang-orang di luar kelompoknya, kemudian memandang rendah terhadap orang-orang di luar kelompoknya. Inilah awal mula mereka menjadi eksklusif. Dan jika para ustadz mereka selalu mendoktrin bahwa itulah yang benar dan yang lainnya salah maka akan semakin sulit untuk merubahnya.


(Bersambung)



Sumber ilustrasi: Pixabay.com

Komentar

Tulis Komentar