Mencegah Ekstremisme dengan Memahami Kondisi di Sekitarnya

Other

by Arif Budi Setyawan

Sebuah kebijakan atau sebuah pendapat atau sebuah fatwa atau sebuah peraturan adalah sebuah produk yang lahir dari pemikiran manusia. Sedangkan pemikiran manusia itu dipengaruhi oleh dua hal, yaitu ilmu pengetahuan yang dimilikinya (internal) dan kondisi di mana manusia itu hidup (eksternal).


Bahkan sebenarnya semua tindakan manusia itu selalu terjadi karena adanya dua faktor tersebut. Misalnya saja ketika seseorang itu lapar ia akan mencari makanan. Untuk mendapatkan makanan ia harus melakukan usaha. Jika ia orang yang berilmu dan beragama maka ia akan berusaha mendapatkannya dengan cara yang tidak melanggar aturan dan norma dalam agamanya.


Tetapi terkadang karena keadaan lingkungan yang keras membuat seseorang melangar aturan hidup yang dianutnya. Sulit mendapatkan pekerjaan yang ideal dan halal, sementara anak istri butuh makan yang sudah cukup mendesak, ditambah godaan dari teman yang terlihat sukses melakukan pekerjaan yang tidak halal, membuatnya kemudian tergelincir ke dalam perbuatan melanggar hukum.


Jadi, meskipun secara ilmiah seseorang itu boleh jadi memiliki ilmu dan pemahaman yang benar ia masih bisa tergelincir ke dalam kesalahan karena faktor kondisi lingkungan di sekitarnya.


Demikian pula dalam kasus tergelincirnya seseorang ke dalam lingkaran ekstrimisme kekerasan, sangat mungkin karena ia salah dalam membaca dan memahami kondisi lingkungannya.


Dalam kasus ekstrimisme kekerasan yang dilakukan oleh sebagian umat Islam khususnya di Indonesia, menurut saya semua itu lahir atau terjadi karena salah dalam memahami kondisi lingkungan di sekitarnya. Termasuk saya.


Dulu saya menganggap sudah waktunya melakukan perlawanan terhadap musuh-musuh Islam yang menindas, menyakiti, dan menzalimi umat Islam dengan aksi menggunakan kekuatan. Tidak lagi cukup dengan kata-kata.


Apalagi pada saat yang sama bacaan saya adalah berita-berita jihad dari segala penjuru bumi yang sedang berlangsung jihad melawan musuh-musuh Islam.


Kedua hal ini membuat saya dan kawan-kawan saya pada waktu itu kemudian ngiler ingin melakukan hal yang sama di Indonesia. Ingin meraih keutamaan dan pahala jihad.


Tapi salahnya adalah, kami tidak memperhatikan apalagi memperhitungkan kondisi Indonesia. Khususnya kondisi umat Islamnya. Maka yang terjadi kemudian adalah kami memaksakan jihad pada kondisi yang sebenarnya tidak membutuhkan jihad. Sehingga menjadi sebuah tindakan "radikal" yang justru kontraproduktif pada kondisi umat Islam di Indonesia.


Jadinya kami itu ibarat memaksa melakukan Salat Dhuhur di jam 10 pagi yang masih merupakan waktu  Salat Dhuha dan kami ngotot yang kami lakukan adalah Salat Dhuhur.


Bagaimana bisa itu terjadi?


Itu karena kami kurang memperhatikan kondisi lingkungan sekitar. Ibarat berada di dalam rumah lalu menentukan waktu Salat Dhuhur tanpa keluar rumah melihat posisi matahari. Salat Dhuhurnya benar, tapi karena waktunya salah jadinya tidak sah. Ya seperti itulah kurang lebih.


Bukan pemahaman jihadnya yang salah, tapi karena salah melakukannya pada saat dan kondisi yang tidak tepat. Coba misalnya kami melakukannya pada saat perang kemerdekaan dulu sebagaimana yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro atau Tuanku Imam Bonjol dll, tentu kami akan dianggap pahlawan.


Katak dalam tempurung akan menganggap bahwa dunia ini gelap dan sempit. Jadi jangan tanyakan solusi dari permasalahan umat pada katak dalam tempurung.


Masalahnya ada oknum-oknum yang memanfaatkan para "katak dalam tempurung" dengan mendoktrin mereka dengan doktrin-doktrin yang salah dan sempit. Misalnya, “Kamu harus memerangi orang-orang yang telah membuat duniamu jadi sempit”.


Padahal sebenarnya dirinya sendiri yang memilih hidup seperti katak dalam tempurung. Tidak mau membuka diri melihat lingkungan yang lebih luas dan belajar pada banyak guru.



sumber ilustrasi: Pixabay.com

Komentar

Tulis Komentar