Toleransi Sejak Tingkat SMA

Other

by Ikhlasul Ansori

Memahami dan mempraktekan Toleransi mungkin masih sulit dilakukan oleh masyarakat muslim di Indonesia. Hal itu karena masyarakat muslim Indonesia tinggal di suatu lingkungan yang Homogen dan jarang berinteraksi lintas agama. Ini membuat beberapa kalangan mayoritas muslim memiliki pandangan negatif terhadap agama berbeda.

Padahal nilai-nilai Toleransi sudah ada dan tertanam pada masyarakat Indonesia sejak dulu. Namun kepentingan kelompok, secara ekonomi dan politik telah memicu untuk menyebarkan kebencian antar agama. Lebih jauhnya, ini menyebabkan terjadinya konflik sektarian di Indonesia dan lunturnya nilai toleransi. Konflik Poso tahun 1998 dan Konflik Maluku tahun 1999 merupakan contoh konflik intoleransi antar umat beragama.

Saya sendiri tumbuh besar dan hidup di lingkungan mayoritas muslim. Saya hanya mengalami interaksi lintas agama sejak kecil ketika bermain dengan anak-anak berbeda agama. Seperti kebanyakan anak-anak pada umumnya. Saya belum memikirkan perihal latar belakang kesukuan dan agama ketika bermain.

Pandangan beragama saya sempat mengalami fase semi-intoleran ketika saya bersekolah di SMP berbasis agama. Ketika itu masih melihat segala sesuatu dari satu persefektif agama. Saya berada dalam lingkungan mayoritas yang homogen sehingga membuat cara berpikir nampak menjadi sempit.

Namun ketika saya mulai masuk SMA, saya baru memahami bagaimana nilai-nilai toleransi itu terjadi. Saya bersekolah di sekolah umum dengan keberadaan murid yang multikultural di setiap kelas. Walaupun itu bukan sekolah SMA swasta yang bagus dengan kualitas pendidikan yang biasa saja dan budaya menyontek tinggi, namun saya mempelajari sifat Toleransi di sekolah tersebut.

Di sekolah itu, saya diajarkan oleh guru berbeda agama dan suku. Bahkan saya mulai bergaul dengan teman-teman yang bebeda agama. Memang awalnya cukup sulit, namun pada akhirnya saya berhasil beradaptasi di sekolah tersebut. Toleransi pertama kali saya pelajari ketika seorang mahasiswa non-muslim mengingatkan untuk diam ketika Azan Zuhur. Kemudian siswa non muslim juga mengigatkan teman-teman non-muslim untuk melakukan Doa Pagi di ruang Rohani.

Diskriminasi juga jarang terjadi. Semua melebur dalam latar belakang etnis, ekonomi dan agama berbeda. Mungkin candaan secara rasial sering terlontar ketika sedang bercanda, namun biasanya hanya ditanggapi secara tawa. Bisa dibilang seandainya sekolah SMA itu adalah sebuah negara multietnis, maka negara tersebut menjadi negara dengan penduduk palin toleran.

Pengalaman tersebut telah menyelamatkan saya dari sifat intoleran dan radikalisme. Saya mempelajari pentingnya kebersamaan tanpa permusuhan dan kebencian yang memicu terjadinya konflik. Indonesia tentu bisa mempertahankan toleransi sehingga terhindar dari ancaman radikalisme yang dapat membawa perpecahan. Emang siapa yang kepingen Indonesia pecah belah kayak Yugoslavia kan ?

Komentar

Tulis Komentar