Jangan Terlalu Terheran-heran Pada Nasib

Other

by Eka Setiawan

Ada plesetan pepatah Jawa, yang meskipun terdengar ngawur tapi diam-diam saya mengamininya. Adalah “Witing tresno jalaran rak ono liyo”  artinya begini: mencintai karena tidak ada (pilihan) lain. Kalau pepatah aslinya, “witing tresno jalaran soko kulino” artinya mencintai karena terbiasa.

Manusia meski kerap merasa punya kuasa atas dirinya, sebenarnya nggak juga. Ketika dilahirkan, dia tidak bisa protes, sekadar mengajukan banding kepada Yang Maha Kuasa: kok saya dilahirkan jadi orang Indonesia? Kok saya lahir jadi orang susah? Kok bapak ibu saya galak-galak? Atau Tuhan, kok saya hidup susah terus?

Serangkaian protes itu, jika terus-menerus diperpanjang dan disesali terus, seakan-akan kita hanya bisa terheran-heran dengan nasib. Kenapa ya saya susah tapi dia senang?

Di sinilah kita berbicara cinta. Tuhan tentu mencintai manusia. Apa buktinya? Ya penciptaan ini. Tuhan tentunya pencipta yang Maha Sempurna. Kesusahan diciptakan sesungguhnya sepaket dengan solusinya.

Tapi, tentunya itu hanya bisa didapat ketika manusia betul-betul mau melewati segala ujiannya. Maka jadilah manusia yang tahan uji, tahan berbagai macam rintangan, lalu menggunakan akal sehat mencari jalan keluar atas semua persoalan yang ada. Kalau bisa seperti itu, ciamik betul kita sebagai manusia.

Kembali ke pepatah plesetan tadi. Kadang hidup memaksa kita harus mencintai apa yang tersaji di depan kita. Tujuannya ya agar manusia itu tahan banting.

Dilahirkan di sarang penyamun, tak mesti membuat seseorang jadi penyamun. Meskipun kadang harus terseok-seok melewatinya. Tapi itulah perjuangan. Lebih istimewa malahan. Sebab, dilahirkan di lingkungan pesantren, tak juga jadi jaminan orang terus menjadi baik.

Ada kyai yang lahir dari kampung maling dan sebaliknya, ada pula maling yang lahir dari kampung kyai. Ada penjahat lahir dari kampung orang-orang baik dan tentu sebaliknya, ada orang baik yang lahir di kampung-kampung penjahat.

Ada orang yang kemudian jadi teroris meskipun dia aparatur penegak hukum, yang tiap harinya dikelilingi upacara. Pun tentu sebaliknya.

Tentu tulisan ini bukanlah khotbah Jumat atau materi pengajian. Hanya mencoba berbagi cerita, syukur-syukur bisa jadi bahan renungan. Jangan-jangan yang salah itu bukan nasib, tapi cara kita memperlakukan nasib itu sendiri?

 

 

SUMBER ILUSTRASI: Pixabay.com

Komentar

Tulis Komentar