Apakah Kisah Livi Zheng Adalah Post-Truth Atau Bentuk Cinta?

Analisa

by Rosyid Nurul Hakiim

Livi Zheng, nama ini mendadak akrab di kalangan penikmat film. Bersamaan dengan munculnya film Bali: Beats of Paradise di layar lebar Indonesia, wanita kelahiran 3 April 1989 ini jadi perbincangan khalayak ramai. Paling santer adalah soal klaim bahwa filmnya masuk seleksi nominasi Oscar. Kalau dipikir-pikir kontroversi soal dia yang viral itu bisa jadi promosi gratis untuk film barunya. Atau setidaknya kesebut di tulisan ini, ya kan.

Namun, apapun itu, saya harus memberikan dua jempol dan standing applause untuk wanita yang mengaku satu almamater sama George Lucas ini. Soal apa? soal kepercayaan diri dan ketangguhannya menghadapi ‘roasting’ dari sutradara-sutradara kondang Indonesia di sebuah acara televisi itu. Salut sis.

Kembali soal klaim dan kontroversi Livi Zheng. Sebenarnya wanita ini sudah pernah lho jadi konsumsi media Indonesia. Sebelum akhirnya terungkap kejanggalan soal klaim dan kualitas filmnya akhir-akhir ini. Mencoba menengok kebelakang sebentar, sekitar tahun 2015 lalu, ‘kiprahnya’ di Hollywood sudah mencuri perhatian media besar. Ketika itu, Livi banyak bercerita soal film pertamanya, Brush With Danger dan kesulitannya menembus Hollywood. Dia kemudian menjadi kebanggaan tersendiri oleh publik Indonesia. Jarang lho, perempuan dari Asia apalagi Indonesia yang mampu menembus Hollywood. Itu sebuah prestasi, kalau memang klaimnya valid.

Empat tahun kemudian, Livi kembali ke Indonesia membawa film dokumenter baru. Namun, kali ini, klaim-klaim dia sebelumnya itu justru dipertanyakan. Bahkan, kritik terhadap media-media yang secara langsung maupun tidak langsung memperkuat klaim itu menguat. Publik seakan mempertanyakan critical thinking dari media-media itu.

Seliweran berita soal kontroversi wanita kelahiran Blitar ini justru mengingatkan saya dengan argumen Yuval Noah Harari, si penulis buku best seller Sapiens, soal post-truth. Istilah ini jika ditelusuri di kamus dapat dipahami sebagai sebuah situasi saat orang-orang cenderung lebih menerima argumen yang berdasarkan emosi atau perasaan daripada fakta. Dalam bukunya 21 Lessons For The 21 Century, Yuval berargumen bahwa manusia atau homo sapiens itu adalah spesies post-truth.

Maksudnya adalah, kita, manusia, sudah secara alami menjadi produsen cerita atau fiksi yang kemudian disebarkan, dan bahkan mampu meyakinkan manusia lain dengan cerita tersebut, hingga menjadi sebuah keyakinan. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa sejak Zaman Batu, manusia sudah menciptakan mitos, memperkuatnya, dan bahkan menggunakan mitos itu untuk mempersatukan manusia.

Ada beberapa hal yang bisa diperdebatkan soal argument Yuval ini, namun, saya tertarik untuk menghubungkannya dengan kisah Livi Zheng. Narasi yang wanita ini ciptakan, mencoba diperkuat, dan disebarkan oleh media massa, ternyata mampu mempengaruhi masyarakat. Bahkan, karena ceritanya itu, Livi menjadi pembicara di berbagai forum dengan beragam audiens. Cerita yang hampir terasa seperti dongeng dari livi itu berhasil menjadi inspirasi.

Kisah Livi ini seakan menjadi bukti dari post-truth itu sendiri. Masyarakat atau bahkan media, secara cepat meyakini kebenaran dari Livi ini karena didorong oleh perasaan bangga. Para pejabat pun ikut terburu-buru meng-endorse. Bagaimana tidak, seorang perempuan dari Indonesia, mampu bersaing dengan film-film sekelas Oscar. Tenggelam di dalam emosi dan perasaan bangga itu, kita kemudian lupa untuk mengecek kebenaran dibalik klaim-klaim atau framing cerita Livi.

Sepertinya, kisah Livi ini bisa menjadi titik balik bagi media maupun masyarakat untuk bisa lebih kritis dan taat verifikasi terhadap informasi yang diterima. Karena kondisi masyarakat saat ini yang sudah terlalu mudah dipengaruhi informasi yang membuai perasaan.

Meskipun demikian, tulisan saya yang menghubungkan kisah Livi dan post-truth ini mungkin terkesan serampangan. Sebab, mungkin saja, apa yang dilakukan Livi itu adalah bentuk cintanya terhadap Indonesia. Atau respon kita yang terlalu cepat percaya itu juga justru wujud cinta kita terhadap negara ini. Tapi, cinta itu kan perasaan, dan apakah itu akan mengaburkan fakta di balik cerita? Apakah ini post-truth?

Ah sudahlah.

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Tulis Komentar