Radikalisme Bisa Berawal dari Ketidakpastian (2-habis)

Other

by Arif Budi Setyawan

Bagi sekelompok orang yang sedang menghadapi ketidakpastian hidup seperti para mantan kriminal yang ingin saleh sekaligus ingin berguna bagi keluarganya itu, tidaklah mengherankan jika kemudian menjadi sangat terobsesi untuk bisa berjihad dan mati syahid (menurut keyakinan mereka), berdasarkan ajaran para ustaz mereka -yang ekstrim dan radikal- itu.


Apalagi berdasarkan pemahaman tauhid versi para ustaz mereka itu membuat mereka bisa lebih leluasa dalam menentukan target yang boleh diserang sesuai dengan kemampuan mereka.


Tidak harus warga negara asing atau antek Amerika sebagaimana yang terjadi di masa lalu, tetapi umat beragama lain dan semua orang yang membantu langgengnya kekuasaan para penguasa yang tidak menerapkan syariat Islam dalam pemerintahannya boleh dijadikan target serangan.


Menurut keyakinan mereka, jika mereka mati dalam usaha memerangi musuh tauhid mereka akan meraih mati syahid. Kematian yang salah satu keutamaannya bisa memberi syafaat bagi 70 ahli keluarganya di akhirat kelak atau dengan kata lain bisa mengajak 70 ahli keluarganya masuk surga.


Mati syahid sama dengan meraih kesalehan sekaligus berguna bagi keluarganya meskipun nanti ketika di akhirat.


Apalagi ketika kemudian doktrin ini dikembangkan lagi menjadi beberapa aksi atau amaliyah turunannya seperti : bolehnya merampok dan mencuri harta orang-orang yang – menurut mereka - boleh diambil hartanya dalam rangka untuk menopang kelangsungan jihad (versi mereka), di mana mereka hanya ‘diwajibkan’ menginfakkan seperlima dari hasilnya untuk kepentingan jihad dan sementara sisanya boleh menjadi hak mereka sebagai pelaku.


Nah, sekarang Sobat Ngobrol jadi tahu tho mengapa beberapa waktu yang lalu sempat marak terjadi aksi perampokan yang dilakukan oleh kelompok radikal yang mereka sebut dengan amaliyah fa’i ?


Bayangkan. Para mantan pelaku kriminal itu dulunya menganggap mencuri, merampok, dan membunuh itu sebagai perbuatan dosa yang kemudian mereka ingin tobat darinya. Eh, tiba-tiba mereka menemukan ajaran yang menyatakan bahwa mencuri, merampok, dan membunuh itu bisa dapat pahala asalkan dalam rangka usaha memerangi musuh-musuh tauhid.


Apa nggak pada langsung berangkat untuk amaliyah tuh orang-orang kayak mereka itu ?


Maka tidaklah mengherankan ketika dulu saya jumpai di penjara, ada sebagian tahanan kasus terorisme yang belum lancar baca Qur’an.


Mengapa Polisi Menjadi Target Favorit?


Dalam catatan memori saya, aksi serangan terhadap aparat polisi oleh kelompok teroris pertama kali terjadi di tahun 2010, tepatnya kalau tidak salah di bulan Februari atau Maret. Pelakunya adalah Yuli Harsono, seorang desertir TNI yang menembak mati polisi di Polsek Prembun Kebumen, dan di Pos Polisi Ketengrejo, Kabupaten Purworejo Jawa Tengah. Yuli Harsono di kemudian hari tewas dalam sebuah penggerebekan oleh Densus 88.


Setelah itu kemudian berturut-turut terjadilah serangan bom Mapolresta Cirebon, penikaman seorang polisi yang sedang berjaga di Polsek Dolo Bima (2011), lalu penembakan dan pelemparan granat pada beberapa pos polisi di Solo (Agustus 2012), rangkaian penembakan polisi di Jakarta di akhir tahun 2013, dan peristiwa sejenisnya yang masih terus terjadi hingga saat ini. Yang terbaru adalah percobaan pembunuhan anggota polisi yang terjadi di Surabaya dan Pati.


Alasan mengapa polisi menjadi target serangan, pertama; secara ideologis mereka dianggap sebagai garda terdepan yang melindungi sistem negara yang mereka anggap kafir. Lha kan ada TNI juga? Bentar, ada alasan lain.


Kedua, polisi dianggap sebagai pihak yang paling banyak menghalangi amaliyah mereka. Menangkapi kawan-kawan mereka dan tak jarang menewaskan kawan mereka dalam operasi penangkapan.


Ketiga, karena adanya sebagian masyarakat umum yang benci atau kecewa dengan kelakuan banyak oknum polisi. Yang artinya jika ada polisi yang jadi korban amaliyah teroris, ada sebagian masyarakat yang ikut senang.


Orang yang pengin saleh dalam waktu singkat tapi tidak punya modal yang cukup seperti ilmu dan harta untuk diinfaqkan, lalu menganggap bahwa dengan melakukan amaliyah itu lebih memberi kepastian hasil daripada harus hidup dalam ketidakpastian dan bersusah payah di tengah masyarakat, adalah orang-orang yang harus kita waspadai untuk kemudian kita selamatkan.

Komentar

Tulis Komentar