Masih ingat insiden seorang lelaki dibakar hidup-hidup di Bekasi sebab diduga mencuri amplifier masjid?
Insiden yang sempat viral di media sosial itu sempat membuat berbagai praduga muncul. Ada yang berpendapat lelaki itu tak bersalah sebab ampli yang dibawanya barang servisan, tetapi polisi akhirnya meyakinkan lelaki itu memang tersangka pencurian didasari bukti dan keterangan saksi.
Dua sisi informasi yang saling bertentangan itu tentu saja sempat membuat warga penerima informasi jadi bingung, siapa sih yang betul?
Itu adalah contoh saja ketika media sosial digunakan menyebarkan informasi secara serampangan, tak diuji kebenaran apalagi melakukan berbagai kroscek fakta.
Manusia memang pada hakikatnya selalu ingin tahu akan informasi. Wajah baru media atau istilahnya new media, juga hadir seiring dengan makin pesatnya jaringan internet saat ini. Sampai pelosok desa, internet bisa diakses dengan segala isinya.
Kehadiran new media menciptakan gaya hidup baru, masyarakat bukan hanya menerima informasi saja, tapi juga ingin menyampaikan informasi yang didapatnya untuk disebarluaskan ke khalayak. Dari sini muncul istilah citizen journalism (CJ).
CJ ini jadi media alternatif selain media konvensional, baik cetak maupun elektronik. Pada beberapa kasus CJ dapat menyaingi berbagai media konvensional.
Selanjutnya muncul pertanyaan, apakah dengan kehadiran CJ (yang pada beberapa kasus juga lebih cepat menyampaikan informasi ketimbang media konvensional), lalu jurnalisme profesional tak diperlukan lagi?
Atau malah sebaliknya, dengan kehadiran CJ, malahan justru membuat jurnalisme profesional sangat dibutuhkan keberadaannya?
Verifikasi
Peran new media sejatinya membuat siapa saja bisa jadi produsen informasi sekaligus penyebarnya. Tinggal cekrek, rekam, unggah, beredarlah informasi ke khalayak.
Soal benar atau tidak? itu urusan belakangan.
Mengapa demikian? Karena new media tentu tak ada filter layaknya media konvensional. Kalau media konvensional alur informasi yang akan menyebar -disebut berita- tentunya ada standardisasinya. Kalau dianggap tak layak, pastilah tak tayang.
Kalau informasi berat sebelah, pasti atasan wartawan dalam hal ini asisten redaktur atau redaktur, akan meminta wartawan itu untuk mengejar konfirmasi lainnya. Tujuannya agar informasi yang beredar tak berat sebelah.
Pengaruh akan keberadaan media baru bisa menjadikan suatu hal yang positif jika digunakan dengan baik dan benar. Tetapi, jika digunakan serampangan, menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, tentu saja jadi ancaman.
Seperti pada contoh kasus yang terjadi di India, beredar rumor soal kelompok penculik anak yang tersebar luas dan cepat di India lewat layanan pesan WhatsApp dan media sosial seperti Facebook.
Hal ini membuat resah masyarakat setempat dan menimbulkan kecurigaan kepada orang asing yang belum mereka lihat sebelumnya, bahkan menjadi amuk massa di mana-mana, sebab warga main hakim sendiri. Dasarnya hanya kecurigaan.
Mungkin sekarang ini sudah menjadi pola kebiasaan karakter masyarakat digital dalam hal membagikan informasi - informasi palsu tersebut, menjadikan seseorang bersikap meremehkan kemampuan orang lain yang melakukan analisis dari idenya karena penalaran digunakan untuk mencari pembenaran, bukan kebenaran.
Berkaca dari berbagai fenomena dan insiden tersebut, di sinilah unsur dasar jurnalisme dibutuhkan, yakni verifikasi.
Peran jurnalisme profesional masih sangat diperlukan. Seperti halnya wartawan yang harus bisa memverifikasi informasi sebelum tersebar luas agar tidak terjadi kebingungan di kemudian hari.
Tujuan jurnalisme sendiri yakni, untuk menyediakan sebuah informasi yang dibutuhkan warga agar mereka dapat mengekspresikan sebuah konten.
Walaupun kadang tak selalu tersaji dengan baik, namun tetap mengedepankan kaidah jurnalistik yang berlaku.
"Jurnalisme hadir untuk membangun masyarakat. Jurnalisme ada untuk memenuhi hak-hak warga negara. Jurnalisme ada untuk demokrasi," sebut Kovach & dan Tom Rosenstiel dalam bukunya yang berjudul Nine Elements of Journalism.
Adanya jurnalisme profesional ini diharapkan bisa menjadi panutan bagi masyarakat. Mereka dapat melihat bagaimana wartawan mencari informasi, memverifikasi sebelum menyebarkannya.
Sebab itu pula, perlu dibuat pelatihan - pelatihan jurnalisme atau sosialisasi ke masyarakat agar masyarakat lebih paham akan etika jurnalistik.
Penulis: Fiqoh Abdullah
SUMBER FOTO: DOKUMENTASI HUMAS MABES POLRI
Sejumlah wartawan tengah melakukan peliputan di Komplek Mabes Polri, Jakarta.
Di Era Digital, Masih Perlukah Wartawan?
Otherby Internship 15 Agustus 2019 9:32 WIB
Komentar