“Udah nyate belum?” pertanyaan ini sudah pasti menjadi trending setiap tahun. Terutama ketika Idul Adha tiba. Pada hari raya itu umat Muslim di seluruh dunia, termasuk Indonesia, mengorbankan hewan ternak sebagai wujud ketaatan. Sapi, kerbau, kambing, atau domba disembelih dan dagingnya dibagikan kepada mereka yang tidak mampu.
Nah, tidak hanya itu saja. Momen setahun sekali ini juga menjadi ajang eksplorasi berbagai gaya memasak sate rumahan. Hanya membutuhkan waktu singkat untuk irisan-irisan kecil daging itu tersusun dalam tangkai bambu. Lalu kemudian terpanggang hingga matang di atas bara api.
Dalam kajian sejarahnya, sate menjadi salah satu bentuk cara memasak yang paling dasar untuk manusia. Sejak ditemukannya api ratusan tahun yang lalu, memasak dengan cara memanggang di api terbuka sudah menjadi naluri alami. Sebelum kemudian berkembang dengan munculnya beragam perkakas. Oleh karena itu, sajian kuliner yang mirip dengan sate juga berkembang di belahan dunia yang lain. Misalnya, shish kebab di Turki dan Timur Tengah, Yakitori di Jepang, Shashlik di jajaran wilayah Kaukasus, dan sosatie di Afrika Selatan. Teknik memasak dari khasanah kuliner itu serupa, namun bumbunya yang membedakan.
Lebih lanjut, sate yang sudah dipatenkan menjadi makanan khas Indonesia ini bisa menjadi jendela kita untuk melihat adanya proses akulturasi budaya di negara ini. Pemilihan kambing menjadi salah satu bahan utama sate, dikabarkan menjadi bukti adanya pengaruh masuknya Islam ke Indonesia. Sebab, orang-orang dari India bagian selatan maupun Arab yang datang membawa Islam tersebut, sudah lebih dulu familiar dengan domba. Namun, untuk bisa melihat fenomena ini lebih jelas, kuliner pendamping sate lah yang justru menjadi bukti yang lebih kuat. Yaitu, masakan gulai dan kari kambing.
Masakan dan pergerakan manusia di seluruh dunia ini memang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itulah kita kerap menemui jenis-jenis masakan yang mirip atau saling mempengaruhi. Makanan memang bisa menjelaskan soal adanya akulturasi budaya. Lebih lanjut, makanan juga bisa menjadi cara kita untuk bisa melihat praktek kolonialisasi yang pernah ada di dunia ini. Bumbu masakan dari tanaman endemik sebuah daerah atau teknik memasak, tidak jarang dibawa oleh negara-negara penjajah kembali ke Eropa sana.
Indonesia yang sempat menjadi negara koloni Belanda juga mengalami hal yang sama. Tidak hanya makanan Indonesia yang banyak terpengaruh oleh cara masak Belanda, seperti klapetart, kaastangel, perkedel, atau kroket, tapi juga ada loh makanan asli Indonesia yang jadi kuliner rumahan Belanda.
Karin Engelbrecht, seorang editor yang banyak menulis soal kuliner Belanda pernah menuliskan bahwa pengaruh masakan Indonesia di kuliner Belanda itu ada. Masuknya VOC pada abad ke 17 memang banyak membawa rempah-rempah dari Indonesia. Tetapi selain itu, masakan yang memang asli Indonesia juga sering terhidang di rumah-rumah orang Belanda disana. Karin menyebutkan bahwa makanan seperti bakmi goreng dan sate sudah menjadi bagian dari makanan rumahan utama di Belanda. Bahkan ada jenis makanan yang bernama patat sate yang merupakan bentuk kombinasi budaya Belanda dan Indonesia. Patat sate ini adalah gorengan ala Belanda yang menggunakan saus sate.
Jadi ingat kota Martapura Kalimantan Selatan., citarasa masakannya sangat mirip masakan Solo yang cenderung manis. Hal itu terjadi ternyata ternyata sejarah berdirinya kesultanan Banjar yang bercorak Islam ada campur tangan pasukan kerajaan Demak. Pada waktu itu Pangeran Samudera yang berperang melawan raja yang telah merampas tahta yang seharusnya menjadi haknya mendapat bantuan armada perang dari Demak dengan syarat menerima Islam sebagai agama resmi kerajaan.
Nah, masakan yang mirip dengan masakan Solo itu merupakan hasil akulturasi dari para prajurit kerajaan Demak dan para da’i yang dikirim oleh Sultan Demak (Trenggono kalauu tidak salah) ke Banjar.
Wah jadi penasaran nama makanannya. Soto Banjar kah?