Sebab Masih Banyak Anime Ugal-ugalan Jangan Sampai Anak Kita Ikut Berantakan

Other

by Internship

Anime alias animasi atau bahkan serial kartun yang lekat dengan Jepang sudah jadi semacam tontonan wajib. Kalau dulu hampir tiap hari Minggu bisa nonton dari pagi sampai siang. Tapi sekarang, seiring makin majunya teknologi, anime bisa dikonsumsi kapan saja, sekali klik YouTube, silakan dipilih.

Mudahnya akses itu tak jadi soal kalau kontennya membangun. Tapi kalau ternyata isinya mengumbar kekerasan, sumpah serapah, tokohnya tak berpakaian atau bahkan temanya terlalu berat untuk anak-anak, semuanya bisa jadi persoalan tersendiri.

Anak-anak itu peniru yang ulung, kalau kata pakar psikonanalisa Sigmund Freud. Jadi, sangat mungkin anak-anak meniru semua tontonannya. Di sinilah, peran orangtua mengawasi tontonan anaknya jadi sangat penting.

Kembali ke anime tadi, walaupun lekat dengan Jepang, tapi kartun-kartun animasi juga diproduksi negara-negara lainnya. Tak terkecuali Negeri Paman Sam Amerika Serikat.

Untuk menontonnya, bisa pakai internet. Kalau yang berbayar bisa lewat Crunchyroll atau Netflix, itu juga menjadikan anime Jepang jadi pilihan kuat hiburan berkualitas.

Berdasarkan laporan tahunan dari Association of Japanese Animation (AJA), Indonesia mengalami penurunan jumlah kontrak kerja di industri animasi sebesar 80% pada tahun 2017.

Salah satu penyebabnya adalah banyak orang di Indonesia menggunakan situs bajakan atau mengunduh gratis dari situs 'fansub'.

Pilihan mengkonsumsi anime secara ilegal juga beragam. Mulai dari selera mereka tak didapat di situs legal atau bahkan persoalan klasik yakni tak punya cukup uang untuk berlangganan.

Nah, tren menonton yang ilegal ini yang berpotensi jadi persoalan. Karena ilegal, filternya cenderung serampangan. Konten yang tak pas ditonton anak-anak bertebaran di sana.

Perlu Filter Besar

Kalau filter mesin bermasalah, filter orangtua juga lemah, pasti tak jadi indah. Sebab, masih banyak pula orangtua menganggap semua anime dan kartun adalah tontonannya anak-anak, tanpa tahu lebih dalam kontennya.

Rani Rastati, seorang peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menyebut orang dewasa Indonesia masih kurang informasi batas-batas memilih kartun dan anime untuk anak.

“Orangtua harus memilih. Saya sebagai orangtua muda juga membaca atau menonton terlebih dahulu sebelum diberikan ke anak,” kata Rani yang juga mengkaji pop culture Jepang dan Korea di Indonesia ini pada sebuah wawancara dengan tim penulis.

Dia mengemukakan, filter itu tak hanya jadi tugas para orangtua, dalam hal ini ayah ibunya, tapi juga termasuk kakek nenek atau siapapun yang merawat anak-anaknya.

"Karena sekarang orangtua di kantor, dan yang merawat anaknya kakek nenek di rumah. Bukan cuma orang tua muda, kakek neneknya juga harus diajarin,” sambungnya.  

Pada beberapa anime dan kartun dewasa, ada semacam tema umum yang kerap digunakan. Adalah adegan kekerasan penuh darah dan saling melukai. Serial ‘Parasyte’ salah satu contohnya. Serial ini menonjolkan adegan sadistis sejak eposide pertama.

Ini adalah serial horor fiksi ilmiah, tentang perjuangan seorang siswa SMA bertahan hidup dari serangan makhluk asing pemakan manusia, yang dijuluki parasytes.

Berbeda dengan ‘Parasyte’, serial animasi ‘Hell Girl’, meski juga bercerita tentang media yang memungkinkan mengirim seseorang ke dimensi lain serupa neraka sebagai balasan tindakan buruk, lebih banyak menunjukkan dilema moral. Ini lebih banyak menunjukkan cerita kehidupan sehari-hari ketimbang aksi kekerasan penuh darah.

Buka Ruang Diskusi

Bertebarannya konten-konten tak mendidik anak-anak itu tentu harus menjadi perhatian tersendiri, khususnya kepada para orangtua atau pengasuhnya.

Jangan jadi pemadam kebakaran. Baru bertindak ketika sudah terlanjur ditonton, atau bahkan dengan cara-cara kuno yakni hanya sekadar melarang tanpa penjelasan.

Makin dilarang, anak makin penasaran, pasti akan curi-curi waktu, cari-cari cara untuk menontonnya. Orangtua atau pengasuh yang tentu tak bisa awasi 24 jam, bisa kecolongan juga.

Cara yang bisa dilakukan, setidaknya dengan memberikan pengertian. Artinya, orangtua maupun pengasuh, meriset dulu, mencari informasi lebih detil, mengetahui apa isi ataupun cerita serial-serial itu. Barulah buah hatinya diberi pengertian sedikit demi sedikit, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh ditonton, lengkap dengan alasannya.

Jangan sampai anak-anak terpapar aneka konten yang tak mendidik. Itu risiko terbesar mengkonsumsi tanpa filter. Mendampingi anak-anak menonton film juga cara bagus untuk mengawasi sekaligus membuka ruang diskusi dengan si buah hati.

 

Penulis: Arriza Alfirdausi, Fiqoh Abdullah (Magang ruangobrol.id)

SUMBER GAMBAR: https://cdn.pixabay.com/photo/2017/04/25/05/14/samurai-2258604__340.jpg

 

Komentar

Tulis Komentar