Kerja Sama dengan Gereja se-Kota Magelang, Para Napi Lapas Magelang Produksi Peti Mati

Other

by Eka Setiawan

Semua orang pasti punya bakat, walaupun tentunya kerja keras musti dilakukan untuk meraih keberhasilan.

Bakat alias talenta ini adalah anugerah yang diberi Yang Maha Kuasa kepada manusia. Sebab itu, tak ada alasan untuk mengembangkannya, memacu diri dan tak kalah penting lingkungan sekitar juga perlu mendukung, jangan cuek, agar bakat itu tetap dikembangkan ke jalur yang benar.

Salah satunya terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Magelang. Sesuai namanya, di sana adalah penjara. Di dalamnya ya isinya orang-orang yang dipenjara sebab suatu hal pelanggaran hukum sesuai hukum positif kita di Indonesia.

Tapi apakah narapidana alias warga binaan pemasyarakatan (WBP) alias orang yang ditahan di sana tidak punya bakat? Tentu punya dong. Wong sama-sama manusia.

Dan apakah manusia yang dipenjara tidak boleh mengembangkan bakatnya? Tentunya sangat boleh dong. Sekali lagi, kan sama-sama manusia.

Inilah yang terjadi di Lapas Magelang itu. Para warga binaannya dilatih berbagai macam keterampilan, mulai dari membuat sampo mobil, cukur rambut, pertanian, menjahit, peternakan sampai membuat peti mati.

Mereka yang sudah punya bakat di bidang-bidang itu tentunya memilih kemauannya sendiri. Meski di dalam penjara, mereka tetap melatih diri, dibimbing petugasnya, agar kelak bebas penjara punya keterampilan bahkan sumber penghasilan.

Soal membuat peti mati ini, para WBP di Lapas Magelang memang sudah berjalan 3 tahun terakhir. Bahkan itu sudah dilakukan MoU dengan pihak gereja se-Kota Magelang.

Hal itu diceritakan Kepala Sub Seksi Bimbingan kerja dan Pengelolaan Hasil Kerja Lapas Kelas IIA Magelang, Aunur Rofiq, ketika ditemui Sabtu (3/8/2019) di tempat kerjanya.

Teknis membuat peti mati itu, pihak Lapas menyiapkan bahan baku, biasanya dari kayu sengon putih. Kemudian, diolah oleh warga binaannya sampai jadi peti mati lengkap dengan berbagai ornamen di dalamnya. Per peti mati dihargai Rp950ribu.

“Biasanya pesanan 1 kali antar kadang 4 kotak (peti). Kalau dengan Gereja Plengkung mereka rutin nyetok 4, jadi kami kirim. Kalau gereja lain, kalau ada yang meninggal baru pesan. Di sini (kota) lebih dari 10 gerejanya,” jelas Rofiq.

Peti-peti mati itu dibuat di ruang kerja semacam bengkel untuk pertukangan. Di sana juga dibuat berbagai kerajinan, mulai dari miniatur menara, mobil, helikopter sampai aneka lukisan. Semuanya dibuat warga binaan.

Kalapas Kelas IIA Magelang, Bambang Irawan, menyebut aneka produksi itu merupakan bagian dari pembinaan.

“Jadi mereka bisa dapat penghasilan, kasih insentif dari bekerja. Minimal untuk menghidupi diri, tapi ada juga yang sudah bisa mengirim (uang) ke keluarganya,” sebut Bambang.

Walaupun belum bisa besar pendapatannya, namun Bambang yakin itu akan bermanfaat bagi mereka setelah bebas penjara nanti.

“Minimal mereka punya keahlian lah. Yang dulunya mungkin unskill, sekarang sudah bisa punya keterampilan-keterampilan yang bisa dibanggakan,” tegasnya.

 

FOTO EKA SETIAWAN

Aunur Rofiq menunjukkan peti-peti mati hasil karya warga binaan pemasyarakatan di Lapas Kelas IIA Magelang, Sabtu (3/8/2019).

 

Komentar

Tulis Komentar