Institusionalisasi dan Kesempatan Kedua

Other

by Rosyid Nurul Hakiim 1

Brooks was here’ terukir di sebuah kayu melintang di sebuah kamar. Di bawahnya terdapat seutas tali terikat yang menggantung sesosok tua tidak bernyawa.

Brooks Hatlen tidak bisa menghadapi hidup di luar penjara. Masa muda dan masa tuanya dia habiskan di Penjara Shawshank. Perlu waktu 50 tahun hingga permohonan bebas bersyaratnya disetujui. Namun, bukannya senang, Brooks justru tidak bisa menerima kenyataan tersebut. Bahkan, alih-alih berterima kasih, rekan dia sesama narapidana hampir tertembus pisau dileher, karena menguncapkan selamat atas kebebasan Brooks.

Hal inilah yang oleh Red, yang juga sesama narapidana, disebut sebagai terinstitusionalisasi. Sebuah kata yang sepertinya sulit untuk dilafalkan, akan tetap memiliki makna yang dalam. “Tembok penjara ini memang lucu, awalnya kau akan sangat membencinya, namun lama kelamaan, kau akan terbiasa, lalu pada akhirnya justru bergantung padanya. Itulah terinstitusionalisasi,” ujarnya dalam sebuah percakapan dengan narapidana lain.

Brooks adalah contoh dari apa yang Red sebut terinstitusionalisasi. Setengah abad Brooks berada di penjara, dia sudah memiliki ‘hidup’ disana. Identitas yang jelas, posisi yang jelas ditengah komunitas narapidana, dan penghormatan dari kawan-kawannya. Bahkan dia memiliki pekerjaan yang dia suka, mengelola perpustakaan. Dia kemudian bebas, identitasnya tercerabut, penghormatan itu hilang, dan meskipun dia memiliki pekerjaan di luar sana. Tapi Brooks tidak memiliki ‘hidup’. Dia sudah tergantung pada kehidupannya di Penjara. Dia bahkan berpikir untuk melakukan kejahatan lagi agar bisa kembali ke Penjara Shawshank. Namun, dia justru memilih berpamitan dengan ‘hidup’nya.

Shawshank Redemption adalah salah satu film lama yang menarik perhatian saya. Diproduksi tahun 1994, film tersebut menggambarkan dinamika penjara di Amerika pada tahun 1950an sampai 1960an. Film ini tidak pernah bosan saya tonton, bukan karena sosok Morgan Freeman yang selalu berakting sangat baik. Bukan pula karena karakter protagonis, Andrew Dufresne, yang mengajarkan penonton untuk tetap memiliki harapan.

Film karya sutrada Frank Darabont ini akan selalu menarik buat saya karena mengingatkan pada apa yang sekarang ini sedang dikerjakan oleh Ruangobrol. Selain melalui website ini, kita ingin banyak mendiskusikan soal isu-isu ekstremisme dan terorisme, Ruangobrol juga menjadi tempat untuk memberikan kesempatan kedua kepada mantan terpidana teroris.

Kesempatan kedua, hal inilah yang menurut saya selalu menjadi titik penting di gerakan Ruangobrol. Seperti halnya Brooks Hatlen dalam film Shawshanks Redemption, mereka yang pernah terjebak dalam kelompok ekstremis juga mengalami institusionalisasi dalam bentuk berbeda. Ketika berada dalam ‘jaringan’ identitas mereka berbeda, mereka mendapat pengakuan dari kelompoknya, dan bahkan memiliki tujuan hidup yang jelas. Lalu, setelah menjalani masa penjara, dan kemudian bebas, proses transisi itu terjadi. Pergeseran identitas, pencarian pengakuan, dan kalibrasi tujuan hidup.

Pada proses transisi inilah peran aktivis sosial yang ingin memberikan kesempatan kedua hadir. Besar kemungkinan, jika dia tidak mendapatkan tempat di masyarakat, para terpidana teroris ini akan kembali ke jaringannya, atau justru membentuk jaringan baru. Dia tetap menggunakan identitas lama dan tujuan hidup lama dia. Oleh karena itu, kesempatan kedua adalah upaya untuk memberikan komunitas baru, pengakuan baru, dan tujuan hidup yang baru. Sehingga kondisi yang disebut terinstitusionalisasi itu lama kelamaan akan terkikis. Sebab, pada dasarnya identitas manusia itu cair dan dapat berubah. Memang perlu konsistensi dan pendampingan terus menerus untuk hal ini, namun memberikan kesempatan kedua adalah salah satu jalan untuk mengatasi permasalahan terorisme di Indonesia.

 

 

Komentar

Tulis Komentar