Abu Hamzah Sang Pencetus Jihad dari Britania Raya (2)

Tokoh

by Kharis Hadirin

Hingga dua tahun kemudian pasca kepulangannya dari Afghanistan atau pada 1994, ia memutuskan untuk berangkat berjihad menuju Bosnia yang saat itu sedang dilanda konflik.

Perang Bosnia (Perang Bosnia dan Herzegovina) sendiri adalah sebuah konflik bersenjata internasional yang terjadi pada Maret 1992 - November 1995. Perang ini mengakibatkan puluhan ribu nyawa melayang, dimana mayoritas korbannya adalah Muslim Bosnia atas invansi militer yang dilakukan oleh pasukan Serbia dan Kroasia. Tragisnya, para korban yang meninggal adalah perempuan dan anak-anak dimana hampir sebagian besar mengalami pelecehan seksual.

Tahun 1995, Abu Hamzah kembali ke London setelah berpetualan dalam dunia jihad di Bosnia. Sekembalinya ke London, dengan cepat ia kemudian menjadi sosok paling berpengaruh bagi masyarakat Muslim di Inggris. Pengalaman jihadnya di Afghanistan dan Bosnia menjadikan dirinya sebagai leading figure atau tokoh terkemuka bagi kelompok pergerakan di Inggris.

Bahkan Abu Hamzah mulai banyak ditunjuk menjadi penceramah di berbagai wilayah di Inggris meski dirinya tidak memiliki basic pendidikan agama Islam sama sekali.

Bagi masyarakat Muslim Inggris yang mulai jenuh dengan gaya hidup masyarakatnya yang hedon, sosok Abu Hamzah seolah menjadi oase bagi mereka yang selama ini mengidamkan kehidupan di bawah sistem syari’at Islam. Sebagai masyarakat minoritas, Abu Hamzah dianggap tokoh paling ‘bernyali’ menyuarakan Islam kepada pemerintah tiran, dimana saat para pemuka agama lainnya memilih untuk tiarap dan mencari aman.

Agaknya kondisi demikian tak berpengaruh pada diri Abu Hamzah. Melalui mimbar-mimbar masjid dan berbagai kegiatan keislaman, ia dengan tegas menyatakan sikap pertentangan kepada kerajaan Inggris yang dinilai ikut andil dalam berbagai konflik yang terjadi di negara-negara Islam.

Bahkan kepada para jamaahnya, Abu Hamzah tak ragu sedikit pun menyeru kepada mereka untuk memulai menerapkan prinsip syari’ah dalam berbagai sendi kehidupan. Termasuk mulai menampakkan simbol-simbol keislaman yang selama ini banyak ditutupi oleh para pemeluknya.

Sejak saat itu, mulai banyak muncul wanita-wanita bercadar yang lalu-lalang di berbagai sudut Kota London. Kelompok-kelompok Islam puritan yang selama ini hidup dalam bayangan, mulai berani muncul di tengah-tengah publik.

Akhirnya, pada tahun 1997, Abu Hamzah dipercaya untuk memimpin Masjid Finsbury Park di London yang kemudian menjadi basis pergerakan massa pendukungnya.

Karisma yang dimiliki oleh Abu Hamzah, menjadikan dirinya dianggap sebagai figur panutan bagi masyarakat Muslim Inggris. Populeritas Abu Hamzah menjadi banyak perbincangan di kalangan para aktivis Islam. Dan dalam waktu singkat, pengikut Abu Hamzah semakin membludak.

Reputasinya sebagai tokoh kesohor pun menjadikan dirinya harus menerima pengawalan ketat dari para anggotanya yang khawatir akan ancaman yang bisa sewaktu-waktu menghampirinya.

Tak berhenti disana. Dalam berbagai kajian keagamaan yang ia sampaikan di depan para jama’ahnya, ia memperbolehkan untuk melakukan pembunuhan kepada orang-orang kafir yang berada di negara-negara Islam di Timur Tengah. Baginya, darah orang kafir adalah halal untuk ditumpahkan, tak terkecuali bagi masyarakat Inggris sekalipun.

Melalui Masjid Finsbury Park di London, Abu Hamzah juga memobilisasi massa untuk melakukan gerakan amar ma’ruf nahi munkar yang menyasar berbagai tempat hiburan malam dan tempat-tempat pelacuran di Kota London.

Sikap berlebihan Abu Hamzah dan jama’ahnya, rupanya berhasil membuat panas pemerintah setempat. Terlebih ceramah-ceramahnya yang sering dinilai memprovokasi massa untuk melakukan aksi kriminalitas dan mengganggu keamanan masyarakat.

Hingga tahun 1999, Abu Hamzah ditahan oleh aparat setempat atas beberapa tuduhan. Seperti keterlibatan dirinya dalam jaringan Al Gamaa Al Islamiyah yang dituding sebagai pihak bertanggung jawab atas peristiwa pembantaian terhadap para turis di Luxor, Mesir pada 1997.

Ia juga didakwa terlibat dalam penculikan 16 orang Barat pada 1998 di Yaman oleh kelompok Mujahidin Aden yang diketahui berafiliasi pada kelompok Al Qaedah pimpinan Osama Bin Laden.

Selain itu, ia dituding berkonspirasi ingin mendirikan kamp pelatihan militer atau tadrib asykari di Oregon, Amerika Serikat pada 1999, menyediakan dukungan material untuk Al Qaeda dan mengirim orang-orang yang direkrutnya untuk berlatih militer di Afghanistan.

Namun oleh otoritas setempat, Abu Hamzah kemudian dibebaskan karena dianggap tidak memiliki cukup bukti yang bisa menjeratnya.

Bebas dari tuntutan, bukannya melunak. Ceramah-ceramah Abu Hamzah justru makin keras dan provokatif. Beberapa hari pasca peristiwa serangan teror yang meruntuhkan menara kembar WTC di Amerika Serikat pada 11 September 2000, Abu Hamzah sesumbar dan mengucap syukur atas banyaknya orang yang tewas dalam serangan tersebut.

Bahkan setahun pasca peristiwa serangan WTC, Abu Hamzah mengadakan acara tasyakuran di Finsbury Park dengan mengundang para jama’ahnya untuk memperingati keberhasil serangan yang dilakukan oleh Al Qaedah.

Jelas saja, sikap dan statemen Abu Hamzah ini memantik reaksi publik untuk mengecamnya di tengah dunia sedang berbela sungkawa.

Akhir perjalanan sang singa Britania Raya

Memasuki awal 2002, pemerintah Amerika Serikat akhirnya mengambil sikap tegas dengan memasukkan nama Abu Hamzah ke dalam daftar teroris global atau Specially Designated Global Terrorist (SDGT).

Hingga pada Januari 2003, otoritas keamanan setempat melakukan penggerebekan di Masjid Finsburry Park London yang menjadi basis massa kelompok Abu Hamzah dengan tuduhan hendak merencanakan aksi serangan teror di Inggris. Beberapa anggota kelompok berhasil ditangkap.

Dalam proses penangkapan, juga turut ditemukan beberapa senjata api yang tersimpan di ruangan masjid yang berdasarkan pengakuan tersangka bahwa senjata tersebut nantinya akan digunakan untuk beraksi. Sementara itu, Abu Hamzah masih bebas dan tak tersentuh hukum, meski akhirnya Masjid Finsburry Park terpaksa ditutup oleh pemerintah.

Alasan pihak pemerintah tidak menangkap Abu Hamzah, lantaran dirinya tidak terlibat dalam perencanaan aksi yang hendak dilakukan oleh anggotanya.

Akhirnya, pada Mei 2004, ia benar-benar ditangkap oleh aparat setempat atas permintaan dari pemerintah Amerika Serikat. Setelah ditahan hampir 2 tahun tanpa proses pengadilan, akhirnya pada Februari 2006, ia divonis penjara selama 7 tahun.

Dan setelah menjalani masa tahanan selama 6 tahun di penjara, pada bulan Oktober 2012, Abu Hamzah diekstradisi ke Amerika Serikat untuk diadili di negeri Paman Sam atas perannya dalam jaringan Al Qaedah. Melalui pengadilan tersebut, dia dinyatakan bersalah pada 11 Mei 2014 atas 11 tuduhan terkait terorisme dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada Januari 2015 tanpa pembebasan bersyarat.

Hingga saat tulisan ini dibuat, tak satu pun media yang mengetahui akan nasibnya sekarang. Termasuk dimana Abu Hamzah ditahan dan menjalani kehidupannya di penjara.

Kisah Abu Hamzah Al Masri tentu menarik untuk dikaji lebih dalam. Tentunya ini tentang bagaimana sosoknya yang mampu mendobrak hegemoni Inggris akan sikap represifnya terhadap gerakan keislaman yang muncul dari kelompok puritan seperti Abu Hamzah and the gangs ini.

Hal tersebut tentu dengan melihat kenyataan bahwa kondisi yang sama juga terjadi di Indonesia, dimana banyak sosok seperti Abu Hamzah yang bebas melenggang tanpa tersentuh oleh hukum sama sekali.

Di saat pemerintah tidak mampu mengambil sikap, disinilah peran masyarakat menjadi cukup penting. Sebab persoalan radikalisme membutuhkan sinergi antar sesama, yang bukan sebatas berpangku pada pemerintah atau aparat semata, tetapi juga keterlibatan dan keikutsertaan dari berbagai kalangan. Wallahu’alam...

 

Link foto: https://www.standard.co.uk/news/london/wife-of-terror-cleric-abu-hamza-asked-to-downsize-from-her-1m-council-house-but-officials-have-no-8203912.html

Komentar

Tulis Komentar