Pesan Toleransi dari Susteran Gedangan Semarang

Other

by Eka Setiawan

Dalam hidup di Indonesia yang penuh kemajemukan, perlu toleransi tinggi agar tetap hidup nyaman. Perbedaan keyakinan haruslah tak menjadi soal, sebab tentunya kemanusiaan tak mengenal status.

Seperti yang terjadi di komplek Susteran Gedangan Semarang. Lokasinya di Jalan Ronggowarsito, dekat dengan komplek Pelabuhan Tanjung Emas, Kawasan Kota Lama Semarang.

Di sana, para suster hidup dengan pengabdian memberikan pelayanan ke masyarakat luas. Termasuk pula ada Sekolah Tinggi Pastoral Kateketik (STPKat) Santo (St) Fransiskus Assisi, yang merupakan sekolah tinggi untuk para calon guru agama Katolik.

Ketua STPKat St. Fransiskus Assisi, FR. Wuriningsih alias Sr.M. Bertha OSF, mengatakan para suster di Komplek Suster-Suster St. Fransiskus (Susteran Gedangan), melakukan pelayanan dengan pengabdian tulus. Mereka melayani sepenuh hati.

“Hidup harus srawung (membaur). Kalau bisa srawung, temannya banyak, tidak akan kekurangan,” kata Sr. M. Bertha ketika diwawancarai di Komplek Susteran Gedangan, Senin (17/6/2019).

Bertha mengatakan untuk bergaul dan berbaur, haruslah dengan siapa saja. Tidak melihat asal-usul, ras, golongan, apalagi keyakinan kepercayaan.

Dia sendiri banyak menerima tamu-tamu dari penganut kepercayaan atau keyakinan yang berbeda dengannya. Sejauh ini, itu tidak menjadi soal.

“Banyak yang ke sini, dari IAIN (Institut Agama Islam Negeri), ada yang Kristen, ada penganut Buddha, dolan cerita-cerita sampai mohon doa. Tidak masalah. Bagi kami, (perbedaan) agama tidak jadi kendala,” lanjutnya.

Begitupun ketika pihaknya melakukan pelayanan-pelayanan. Sebut saja, tentang rumah lansia hingga memberikan pendidikan gratis bagi anak-anak pemulung di sekitaran komplek Susteran Gedangan. Para suster juga secara rutin berbagi makanan gratis ke orang-orang yang membutuhkan.

“Ini adalah pesan toleransi. Intinya susteran ini, baik itu harus ke semua orang tanpa membeda-bedakan. Bhinneka Tunggal Ika perlu diangkat lagi, (khususnya) untuk tema anak-anak muda,” tambah Suster Bertha.

Biara Induk

Pada buku Deus Providebit, 125 Tahun Tarekat OSF di Indonesia (1995), dituliskan Gedangan adalah saksi utama kedatangan awal pengabdian dan pengembangan hidup serta karya Suster-Suster St. Fransiskus dari Tapa Denda dan Cinta Kasih kristiani.

Era awal pengabdian suster-suster di Indonesia ditandai dengan datangya misionaris dari negeri Belanda dalam jumlah yang cukup banyak. Empat belas biara dibuka antara tahun 1870-1933; 12 di Jawa Tengah, 1 di Flores dan 1 lagi di Langgur, Kei.

Dari belasan itu, yang dibuka pertama kali adalah di Susteran Gedangan Semarang.

Gedangan menjadi pusat segala kegiatan rohani dan jasmani para suster sebelum memulai karya baru mereka di berbagai tempat di seluruh pelosok Indonesia. Susteran Gedangan itu yang jadi saksi sejarah tarekat OSF Propinsi Indonesia.

Sebab itu, Susteran Gedangan mendapat julukan biara induk. Sebab, telah mampu melahirkan, memelihara dan menyaksikan perjalanan panjang putri-putri Ibu Magdalena Daemen sejak tanggal 5 Februari 1870 sampai sekarang.

Suster Bertha menjelaskan, sejarah Susteran Gedangan ini pada 1800-an, Romo di Gereja Katolik St. Yusuf Semarang (yang berlokasi di depan Susteran Gedangan), bernama Monsinyur Joseph Lijnen, datang ke Belanda menjumpai Konggregasi Fransiskan di sana. Lokasinya di Biara Heythuisen Belanda.

Lijnen meminta suster-suster datang ke Gedangan Semarang untuk memberikan pelayanan. Kemudian, Magdalena Daemen selaku pendiri Konggregasi Fransiskan di Belanda mengirimkan 11 suster St. Fransiskus ke Semarang pada tahun 1870.

“Mereka datang ke sini (Semarang) pada 5 Februari 1870, naik kapal Jacoba Cornelia, sempat singgah di Batavia (Jakarta) sebelum sampai di Semarang),” terang Suster Bertha.

Nama-nama suster yang datang kali pertama itu ada dalam prasasti yang terletak di komplek Susteran Gedangan Semarang. Masih terawat dan terbaca jelas hingga sekarang.

Para suster itulah yang kemudian membuka lembaga-lembaga pendidikan atau karya pendidikan di Gedangan kemudian menyebar ke seluruh Indonesia.

Selain awalnya pendidikan, juga dibuka pelayanan berupa panti asuhan. Suster Bertha menyebut, ketika itu anak-anak yang dirawat di panti asuhan tersebut bukan hanya dari kalangan tidak mampu.

“Tapi juga anak-anak government (pemerintah, pegawai). Jadi bukan hanya anak-anak orang miskin, tapi anak-anak miskin dan kaya juga dirawat di sini,” tutup Suster Bertha.

Di komplek Susteran Gedangan Semarang ini juga terdapat jejak rumah sakit yang konon tertua di Indonesia. Ada prasasti yang terukir di sana. Tulisannya dalam bahasa Belanda.

Bunyinya: “Batu Pertama Rumah Sakit ini diletakkan oleh Frederik Julius Coyett, anggota Dewan Hindia dan Komandan Pantai Timur Laut Jawa, pada 28 Juli 1732”.

Berdiri sejak ratusan tahun lalu, komplek Susteran Gedangan masih kokoh berdiri, bersih dan terawat dengan baik. Orang-orang dari luar negeri kerap datang ke sana. Teranyar, komplek Susteran Gedangan juga dipakai syuting film layar lebar Ave Maryam, yang diperankan aktris senior Maudy Koesnaedi.

 

FOTO EKA SETIAWAN

Suster.M. Bertha OSF berfoto di dalam Kapel berarsitektur neo gothic yang berlokasi di komplek Susteran Gedangan Semarang, Senin (11/6/2019).

Komentar

Tulis Komentar