Mujahidin Al Qaedah Serambi Mekkah dan Fase Disorientasi dalam Gerakan Jihad Nasional

Analisa

by Kharis Hadirin

Pada tahun 2010, terjadi pergerakan masif di kalangan kelompok Islam di Indonesia melalui pelatihan militer yang digelar di bukit Jantho, Aceh.

Pelatihan ini, oleh banyak kalangan disebut-sebut sebagai pelatihan militer lintas tandzhim, yakni dengan melibatkan berbagai kelompok jihad, menjadi semacam pagelaran reuni akbar para jihadis di Indonesia. Kelompok ini kemudian menamakan diri sebagai “Mujahidin Al Qaedah Serambi Mekkah”.

Kegiatan ini sendiri turut melibatkan gembong teroris paling dicari oleh pemerintah Indonesia atas indikasi keterlibatannya dalam bom Bali 2002, yakni Dulmatin alias Yahya alias Mansyur alias Joko Pitono. Meski kemudian ia tewas dalam proses penggerebekan di Pamulang, Tangerang Selatan pada 2010 lalu.

Selain Dulmatin, juga muncul beberapa pemain lama dalam gerakan jihad Indonesia, seperti Abu Tholut dan Abu Yusuf alias Mustakim. Namun rencana ini rupanya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Aparat kepolisian berhasil melakukan penggerebekan tempat yang menjadi lokasi pelatihan.

Dalam prosesnya, sempat terjadi baku tembak antara kalangan jihadis dan aparat sehingga menimbulkan korban yang cukup banyak, terutama dari kalangan jihadis. Sementara lainnya berhasil tertangkap hidup. Abu Bakar Ba’asyir (ABB) pun tak luput dalam penangkapan tersebut.

Pasca penangkapan besar-besaran oleh aparat kepolisian atas peristiwa di Aceh, kelompok JAT (Jama’ah Anshorut Tauhid, organisasi pimpinan ABB) seolah menjadi gerbong organisasi yang kehilangan kepalanya, limbung. Namun agaknya hal tersebut tak berlangsung lama, sebab faktanya, JAT masih cukup aktif mengadakan berbagai kegiatan melalui tangan kedua, terutama seminar-seminar seperti di Jakarta. Ironis memang!

Di sisi lain, rupanya penjara tidaklah cukup mampu untuk membendung laju pemahaman radikalisme. Buktinya, ABB justru berhasil membuat buku yang merupakan buah dari pemikirannya dan diberi judul “Tadzkiroh” dari balik selnya. Buku itu kemudian dicetak dan diedarkan secara luas. Secara tegas, buku tersebut berisi tuntutan untuk merubah konstitusi negara dengan sistem syari’at Islam.

Meski demikian, situasi yang dialami JAT dari tahun 2010 hingga 2014 tak ubahnya seperti jihad deadlock yang memperlihatkan bahwa kelompok ini mengalami disorientasi, disklokasi dan disposisi yang sangat parah bersamaan dengan mendekamnya ABB di penjara sejak 2010 lalu.

Nyatanya, penjara tidak selamanya menjadi tempat yang bisa memberikan pengaruh simpati pendukung. Justru terkadang malah bisa menyebabkan munculnya friksi dan faksionalisme. Apalagi ABB berada satu penjara bersama Aman Abdurrahman yang kala itu banyak menyumbangkan ide-ide over-radikal yang kemudian berujung pada keruntuhan karisma ABB hingga ke titik nadir pasca bai’atnya kepada Abu Bakar Al Baghdady, pimpinan ISIS di Suriah.

Di sisi lain, ketiadaan sosok figur yang dianggap mampu mengeratkan kembali serpihan gerakan jihad nasional yang porak-poranda akibat perpecahan, memaksa beberapa kalangan untuk menciptakan kelompok-kelompok baru yang lebih kecil tanpa adanya intervensi dari para tetua.

Kelompok ini sendiri merupakan manifestasi dari rasa kekecewaan terhadap senior atau tokoh-tokoh jihad di Indonesia yang dianggap sudah kehilangan arah perjuangan dan dipandang tidak lagi memiliki pengaruh cukup kuat.

Umumnya, para anggota dari kelompok-kelompok kecil ini adalah anak-anak muda yang jenuh dan muak dengan sikap para kaum tuanya yang lebih banyak berbicara tentang umat dan jihad, namun tidak ada aksi nyata sama sekali.

Tentu kondisi demikian  masih menjadi persoalan serius, dengan melihat kenyataan bahwa aksi terorisme belum benar-benar padam di negeri ini meski pemerintah sudah berupaya menghadang laju persebaran ideologi yang meruntuhkan sendi-sendi pancasila dengan berbagai cara.

 

Link foto: https://nasional.tempo.co/read/298850/jat-bantah-terlibat-pelatihan-militer-di-aceh

Komentar

Tulis Komentar