Bagaimana “Terorisme” Dikomunikasikan? (Bagian Kedua: Multimedia)

Other

by Boaz Simanjuntak

Kanal media arus utama (mainstream), dahulu hanya ada cetak/tulisan dan penyiaran, gambar dan suara. Namun kini, kanal baru (new media), sejak terus berkembangnya media sosial, maka media arus utama bergabung dengan media baru melalui proses konvergensi yang menghasilkan sebuah produk bernama multimedia. Secara sederhana, multimedia adalah sarana menyampaikan informasi dengan menggabungkan teks, suara, gambar, animasi, musik, grafik, dan video dengan menggunakan berbagai alat bantu serta koneksi atau tautan melalui internet dalam penyebarannya. Kelebihan multimedia adalah menarik gabungan indera manusia dan kecepatan untuk mempengaruhi. Ide “Terorisme” pun membutuhkan kecepatan diseminasi yang bisa mempengaruhi publik, menjadi takut atau ingin lebih tahu yang diharapkan bisa menerima gagasan sebuah kelompok teror.

ISIS adalah salah satu kelompok teror yang menggunakan multimedia sebagai kanal untuk menyebarkan ide dan gagasan. Daftar video-video yang dirilis ISIS diberitakan oleh dua media besar, Huffington Post dan New York Times, memperlihatkan keseriusan ISIS dalam mengelola diri mereka sebagai sebuah merek. Anggota ISIS menunjukkan bahwa diri mereka berupaya serius menggambarkan organisasi yang mereka masuki sebagai sebuah entitas jaringan yang mempunyai pengalaman serta pengetahuan yang mendunia dibandingkan hanya sebagai para pejuang ideologi yang berasal dari gurun dan tidak terorganisir.

Salah satu video ISIS yang bisa dianalisa dalam konteks “Terorisme” dikomunikasikan adalah saat pilot pesawat tempur Yordania Mu’ath Al Kassasbeh yang dieksekusi dan dibakar oleh ISIS dan dirayakan oleh para anggota kelompok pada bulan Januari 2015, videonya rilis sebulan setelah kejadian tersebut. ISIS tidak langsung menyebar video tersebut melalui media sosial tetapi menyebar ke dalam jaringan saja. Bisa diartikan betapa penting video tersebut dan mereka pun nampaknya ingin menguji seberapa baik sistem kerahasiaan dan kepercayaan di dalam kelompok yang mereka kembangkan.

Produksi video Kassasbeh menggunakan sudut pandang kamera yang beragam, alat berteknologi tinggi, dan efek visual serta grafis yang memikat. Tujuannya adalah untuk menciptakan rasa takut dan menyentuh sisi emosi di wilayah yang dikuasai ISIS, hal ini ditunjukkan dari pemutaran video tersebut di jalan raya wilayah Raqqa. Di akhir video disuarakan sebuah ajakan untuk bertindak untuk melakukan perjuangan yang bermerek ISIS dan bentuk penghargaan terhadap para eksekutor sang pilot, bagi orang yang minim pengakuan dalam hidupnya akan bisa terpengaruh. Produk multimedia ini bukan hanya sebuah video semata namun adalah sebuah keberlanjutan dari dialog ide dan gagasan kelompok teror, efek yang timbul setelah menonton biasanya adalah percakapan antara yang menonton dan dengan yang belum menonton.

Memahami terorisme bukan hanya persoalan mengadili pelaku teror, tetapi juga meneliti bagaimana proses masuk ke dalam jaringan teror dan proses keluar dari jaringan teror terjadi. Video mengenai Abu Ghazwan, 33 tahun, warga negara Irak, yang diteliti oleh ICSVE sebagai salah satu proses memahami mengapa individu mau melakukan teror, adalah contoh multimedia kontra narasi yang bisa disebarkan sebagai bentuk perimbangan dengan multimedia produk ISIS. Dalam video tersebut, Ghazwan mengatakan “Violence didn’t accomplish anything”, kekerasan hanya menghasilkan banyak hal yang merusak dan paling buruk. Ghazwan juga minta maaf kepada Allah akan perbuatan kejinya, membunuh banyak orang dengan teror bom.

Cara ISIS berkomunikasi lewat multimedia bukan hanya sebuah bentuk melawan Barat, tetapi juga bentuk kompetisi antar kelompok teror lain di dunia yang menawarkan produk multimedia yang sama. Diferensiasi kuncinya, produk bisa sama tetapi label sebagai kelompok teror yang terkenal paling kejam hanya satu, dan ISIS berusaha untuk hal tersebut.

Foto: “Rewards of Joining the Islamic State”, International Center for the Study of Violent Extremism

Komentar

Tulis Komentar