Rusuh Jakarta Mei 2019, Menilik Perdebatan Panjang Din Wa Daulah di Republik ini (Bagian 1)

Other

by Eka Setiawan

Kerusuhan yang terjadi di beberapa titik di Jakarta beberapa hari ini memunculkan pertanyaan sendiri. Apa betul iya, ada gerakan-gerakan yang ingin menggulingkan pemerintahan, khususnya persoalan Pilpres April lalu?

Apa betul ada golongan tertentu yang mengatasnamakan agama, menolak hasil Pilpres yang mereka klaim penuh kecurangan? Mengingat saat aksi-aksi, mereka membawa-bawa simbol agama.

Apakah tujuannya mereka sudah tak percaya lagi dengan pemerintahan yang sekarang dijalankan?

Yang jelas faktanya, ada beberapa perusuh yang ditangkap aparat keamanan dengan berbagai deliknya. Aksi simpatik, hingga penegakan hukum, tetap dilakukan. Toh, mengungkapkan pendapat di muka umum itu boleh-boleh saja, asal tidak anarkis, tidak merugikan orang lain dan tentu ada aturannya.

Melihat sejarah, (kalau memang betul aksi Mei ini karena tak percaya pemerintahan dan ingin adanya negara Islam) sebetulnya perdebatan panjang antara din wa daulah (agama atau negara), sudah ada sebelum Republik Indonesia diproklamirkan.

Adalah ketika terjadi perdebatan antara golongan Islam dan golongan nasionalis sekuler ketika digelar sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 April 1945.

Badan ini membentuk Tim Sembilan yang bertugas untuk menyusun Piagam Jakarta (The Jakarta Carter) yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Alasan mendasar pembentukan tim yang diketuai Sukarno itu karena terjadi perbedaan pendapat yang muncul dari faksi yang menginginkan prinsip kebangsaan dan prinsip keagamaan (Islam) sebagai dasar negara. Pandangan Muhammadiyah dan NU tentang relasi din wa daulah turut berperan penting dalam menentukan ideologi dasar negara melalui wakil-wakilnya.

Tim Sembilan akhirnya menghasilkan rancangan Piagam Jakarta. BPUPKI dibubarkan dan diganti PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

Pada 7 Agustus 1945, PPKI dibentuk untuk merancang Piagam Jakarta menjadi undang-undang dasar negara.

Pada sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 kembali terjadi perdebatan mengenai din wa daulah. Kalangan Islam menginginkan pengesahan Piagam Jakarta menjadi dasar negara. Tetapi penolakan muncul dari kalangan nasionalis sekuler.

Saat itu, Jepang masih ada di Indonesia, belum sepenuhnya hengkang. Ketika negeri Matahari Terbit itu menjajah Indonesia, sebetulanya sedang dihadapkan pada perang besar Asia Timur Raya. Bala Tentara Jepang menghendaki semangat juang dan pengorbanan harta dan jiwa umat Islam yang dipimpinnya untuk mensukseskan Perang Asia Timur Raya.

Di balik semua itu, Jepang berusaha keras agar umat Islam Indonesia tidak terpengaruh kondisi sikap politik Saudi Arabia yang berpihak kepada Sekutu Amerika Serikat dan Inggris.

Di lain pihak, mengapa para pemuka Islam tetap berkeinginan untuk mendirikan Negara Islam? Hal ini diakibatkan di Nusantara, sebelum pendudukan Jepang, telah pernah berdiri sekitar 40 Kesultanan atau kekuasaan politik Islam.

Bahasa propaganda Jepang itu bermuatan sentimen agama sangat mudah dicerna masyarakat desa. Kejam dan lamanya penjajah Kristen Belanda melakukan penindasannya, sangat dirasakan kaum petani desa yang umumnya mengaku beragam Islam.

Sebab itulah, pada awal pendaratan, Jepang disambut sebagai pembebas dan penyelamat rakyat. Selanjutnya disadari bahwa Jepang juga sebagai penjajah yang tidak menghendaki kemajuan umat Islam Indonesia. (Menurut Harry J. Benda, untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya, para Ulama dikondisikan oleh kebijakan Jepang agar berpihak pada upaya perangnya dengan menjanjikan membebaskan para Ulama dan umat Islam Indonesia dari penindasarn penjajah pemerintah Kristen.

Untuk kepentingan itu pula, Tenno Heika, 1942 M, dipropagandakan akan memeluk agama Islam dan akan menggantikan kedudukan Khalifah di Turki yang telah ditiadakan oleh Kemal Pasha,1924 M. Dipropagandakan dari Tokyo bersama Jepang membangun Islam Indonesia. Lihat:  Ahmad Mansyur Suryanegara, Api Sejarah 2; Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Hlm 131-132, Cet.1, Edisi Revisi Bandung: Surya Dinasti,2016)

Bersambung...

 

FOTO: EKA SETIAWAN

Komentar

Tulis Komentar