Bagaimana Pemerintah Menangani Terorisme?

Analisa

by Kharis Hadirin

Iya, bagaimana menangani terorisme adalah pertanyaan yang paling memusingkan aparat penegak hukum di belahan dunia manapun.

Berkaca pada pemerintah kita, setidaknya ada beberapa pendekatan yang sudah dilakukan.

Yang pertama, represif. Gampangannya seperti lagu Metallica, ‘Seek and Destroy’, cari dan hancurkan sampai ke akar-akarnya. Berharap dengan tewasnya gembong teroris dan antek-anteknya, lenyap pula pemikirannya. Indonesia lumayan berhasil dengan ini, bahkan FBI pun cukup terkesima dengan kecepatan dan kemampuan Satgas bom (yang kemudian menjadi Densus 88) mengungkap bom Bali I dan sejumlah kasus lainnya.

Yang kedua, soft approach. Istilah kerennya deradikalisasi. Yakni, melawan pemikiran dengan pemikiran. Malaysia termasuk yang cukup berhasil di proyek ini.

Namun, ada kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Represif tak pernah bisa benar-benar berhasil. Lihat bagaimana pemerintah Mesir menangani kelompok Ikhwanul Muslimin (IM) pada 1960-an. Malah meradikalkan massa, dan bahkan embrio kelompok jihad global seperti Al-Qaedah berasal dari sini.

Dalam skala yang lebih kecil, Indonesia mengalami hal yang sama. Sudah berapa ratus teroris ditembak mati, apakah potensi terorisme lenyap? Masih tinggi, Rahul. Ya, setidaknya bisa dilihat dari kasus wacana pembebasan Abu Bakar Ba’asyir (ABB). Banyak yang mempersoalkannya karena menganggap hal itu memperburuk potensi terorisme yang lain.

Selain itu, tindakan represif juga kerap mendapat kecaman masyarakat. Seperti penembakan mati terduga teroris, Siyono beberapa tahun lalu di Klaten. Yang sampai Dahnil Ahzar yang saat itu Ketum PP Pemuda Muhammadiyah ikut memprotes dan mengawal keluarga terduga teroris tersebut ke Mabes polri.

Tapi bahaya terbesar dari represif adalah ia dapat membuat ikhwan jihadi yang sudah mulai condong berubah paradigma, kembali jatuh ke ekstremisme lagi. Terlebih, jumlahnya tak sedikit.

Di Surabaya dan sekitarnya, yang saya tahu sendiri, ada sekitar 200-an mantan combatant dengan kemampuan skill tempur dan demolisi yang bisa melakukan serangan sekelas bom bali I. Sebagian dari mereka mulai percaya untuk menekuni jalan nir kekerasan. Sedikit saja represif itu salah arah, dalam artian represif bukan hanya dari aparat, tetapi juga masyarakat, maka pilihan mereka sederhana saja, “Daripada berusaha hidup benar, tapi nggak dapat kesempatan, ya wis mending cepet-cepet jadi syuhada saja.”

Sementara itu, deradikalisasi memang pada sejumlah poin menunjukkan keberhasilan. Keberhasilan Polri mengungkap JI dan selnya, ya berutang pada pendekatan lunak ini. Ada banyak cerita di mana polisi mengganti perlakuan ke para tersangka teroris, dari yang seperti bandit jalanan (digebuki dan disiksa), ke yang memanusiakan mereka. Hasilnya, JI terbongkar. Sejumlah pentolannya bahkan berubah paradigma. Bahkan, ada banyak anggota JI senior yang terkesan dengan Gories Mere, misalnya. Sampai terucap, “Sayang sekali Pak Gories itu non-Islam”. Bentuk kekaguman.

Tapi ya ini, deradikalisasi prosesnya amat pelan. Dan sangat tergantung dari sejumlah faktor eksternal, seperti situasi politik dan sebagainya.

Yang saya amati, Indonesia menganut kombinasi keduanya. Ya menembak mati yang nggak bisa berubah, tapi di saat yang bersamaan, merangkul yang mau berubah.

Kelihatannya ideal, dan ini memang harusnya ideal. Sayang sekali saudara-saudara, kombinasi ini sangat dinamis batas-batasnya, dan mustahil dilakukan dalam bentuknya yang paling ideal.

Karena apa? Ya karena mempertimbangkan banyak faktor. Dari yang mulai soal politik, kesan, tantangan dari negara luar, dan juga reaksi masyarakat.

Saya akan ambil contoh kasus. Ada banyak napiter bekas JI yang sudah bertransformasi. Misalnya Ali Imron, Mubarak dan Umar Patek. Tanpa kooperasi mereka, JI mungkin sulit untuk dibongkar sampai seperti ini. Mereka bahkan juga kerap menjadi agen deradikalisasi aparat. Setiap napiter kelas berat yang tertangkap, pasti akan dikonfrontasikan dengan mereka.

Karena sama-sama salafi jihadi, dan mereka juga sangat mumpuni pengetahuan agamanya, maka mereka bisa mematahkan argumentasi dan dasar pemikiran para napiter lainnya. Mereka boleh dibilang menjadi agen deradikalisasi terbaik yang dimiliki Indonesia.

Simak saja kiprah Ali Fauzi Manzi dengan Yayasan Lingkar Perdamaian-nya. Mereka tiap hari bertarung dari sel ke sel untuk berebut napiter. Pertarungan yang keras, dan adik Amrozi itu kerap berhadapan dengan murid dan sesama ikhwan jihadi lainnya soal pemikiran.

Poinnya adalah bagaimana jika pemerintah memutuskan mengampuni Umar Patek, Mubarak, dan Ali Imron? Reaksi pasti akan sangat negatif. Padahal, jika mereka di luaran dan dijadikan agen deradikalisasi (yang tentunya saja pemerintah wajib tetap memonitornya), mungkin mereka bisa menghindarkan banyak rencana serangan teroris (ini memang masih asumsi).

Namun, langkah itu pasti memicu kontroversi luas. Mulai dari pertanyaan bagaimana dengan nasib para korbannya, tak ada empatikah? Para politisi juga pasti berpikir 1000 kali untuk melakukan itu, karena siapa yang mau dicap mendukung teroris? Wong, membebaskan ABB saja sudah bikin riuh negeri ini padahal beliau sudah sepuh dan tak lagi mampu berdiri sendiri.

Nah, terlihat bukan, bahwa langkah terbaik penanganan terorisme tak akan pernah bisa dilakukan. Karena ia akan terbentur dengan hal-hal di luar pertimbangan murni strategis seperti politik, respon masyarakat, dan sebagainya.

Pertanyaannya, kalau anda yang jadi penguasa, strategi seperti apa sih yang akan dilakukan? Bagaimana skema terbaik untuk menangani terorisme menurut anda? Saya ingin sekali tahu jawabannya.

Mari berdiskusi dengan baik, karena bagaimanapun juga, terorisme masih akan menjadi ancaman besar, tak peduli apa aliran agama atau pun afiliasi politik anda. Terorisme di Indonesia nyata, dan suka atau tidak suka, kita hidup bersama ancaman itu.

 

Gambar ilustrasi: https://islambergerak.com/2016/03/bukanderadikalisasi/

Komentar

Tulis Komentar