Malaysia dan Dinamika Politik Islam di Indonesia

Analisa

by Kharis Hadirin

Dalam peta percaturan jihad nusantara, peran Malaysia tentu tidaklah lepas dalam dinamika politik Islam yang melelahkan ini.

Lalu bagaimana menjelaskan persinggungan gerakan lokal ini pada konteks regional?

Pasca 1962, sejarah gerakan jihad di Indonesia tidak dapat disebut sebagai sejarah kontinuitas, juga tidak bisa disebut sebagai diskontinuitas karena masih terus berlangsung dalam proses yang tidak menentu.

Sejarah pasca 1962 ini bisa juga dikatakan sebagai sejarah perubahan (history of change) atau sejarah perpecahan (history of split) gerakan jihad Indonesia yang tidak bisa direkatkan lagi dalam bentuk integrasi.

Hal ini tentu tidak lepas dari peristiwa penangkapan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo oleh pemerintah Indonesia atas perannya dalam aksi pemberontakan bersama kelompok NII.

Perjuangan Kartosoewirjo sendiri berakhir ketika aparat keamanan menangkapnya setelah melalui perburuan panjang di wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat pada 4 Juni 1962. Pemerintah Indonesia kemudian menghukum mati Kartosoewirjo pada 5 September 1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta.

Praktis, peristiwa ini menjadikan kelompok ini kehilangan sosok figur yang dianggap mampu memimpin gerbong panjang bernama NII. Sosok figur pemimpin yang dianggap memiliki pengaruh cukup besar dalam proses berjalannya gerbong gerakan jihad dan Islam di Indonesia, dan juga menjadi penentu eksistensi gerakan ini ke depannya.

Kartosoewirjo dalam konteks ini adalah figur karismatik yang mampu menjadi sosok negarawan. Negara sebagai entitas politik modern diasuh dalam manajemen ilmiah melalui Negara Islam Indonesia (NII) menjadi tonggak penting sejarah politik Islam di Indonesia yang mengubah gaya tradisional (kelompok abangan) ke dalam bentuk yang lebih modernis.

Hingga memasuki tahun 70-an, muncul figur baru bernama Abdullah Sungkar yang kemudian melanjutkan tali estafet kepemimpinan ke dalam bentuk korporasi jihad yang ultra modern dengan mengadopsi plot dari Al Qaedah di bawah Osama Bin Laden.

Kepemimpinan karismatik Abdullah Sungkar mulai terbangun ketika dirinya dan Abu Bakar Ba'asyir terlibat dalam kasus makar yang dituduhkan oleh pemerintah Orde Baru hingga memaksa mereka untuk meninggalkan Indonesia dan menetap di Malaysia dalam kurun waktu yang tak menentu sebagai pelarian.

Dalam kurun waktu itu, mereka mengatur pola gerakan jihad selanjutnya dengan merekrut berbagai kalangan baik dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina dan Thailand.

Hal ini menjadi tonggak awal lahirnya gerakan kelompok jihad yang melibatkan negara-negara tetangga, sekaligus juga menjadi ancaman keamanan nasional maupun pada tataran yang lebih luas.

Jika di Indonesia ada Ponpes Al Mukmin Ngruki sebagai poros gerakan, hal yang sama pun terjadi di Malaysia. Abdullah Sungkar bersama kelompok Jama’ah Islamiyah (JI) mendirikan Ponpes Lukmanul Hakim di Johor Bahru, Malaysia.

Ke depannya, ponpes ini tidak saja berfungsi sebagai lembaga pendidikan agama tetapi juga menjadi basis perkumpulan kader-kader JI. Para kadernya yang mengalami tindakan represif dari pemerintah Soeharto kala itu, memutuskan untuk berhijrah ke Malaysia dan menciptakan generasi baru.

Yang menarik kemudian, seluruh kegiatan kelompok Jama’ah Islamiyah di tanah air justru dikontrol dari Ponpes Lukmanul Hakim Johor ini.

Bahkan ketika terjadi invansi di Afghanistan oleh tentara Uni Soviet awal tahun 80-an, sebagian besar orang Indonesia yang ingin bergabung dalam kancah jihad global bersama kelompok mujahidin, mereka harus transit ke Malaysia untuk mendapat ‘restu’ Abdullah Sungkar.

Kondisi geopolitik Malaysia yang cukup terbuka kala itu, justru menjadi celah bagi kelompok ini untuk memanfaatkan peluang secara maksimal. Terlebih melihat Muslim sebagai penduduk mayoritas, tentu memberikan cukup kemudahan bagi mereka untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan sosial yang ada.

Melihat kenyataan ini, tentu tak mengherankan jika dakwah-dakwah kelompok JI relatif mudah diterima bahkan mendapat tempat di tengah masyarakat.

Tak ingin merasa dipecundangi untuk kedua kalinya, pemerintah Malaysia mulai memberlakukan pengawasan secara ketat terhadap praktik-praktik keagamaan yang dianggap akan mengganggu stabilitas keamanan. Terlebih, bahwa tak sedikit warganya yang merupakan veteran konflik Afghanistan dan pernah menjadi bagian dari kelompok JI. Terutama pasca tragedi serangan gedung WTC dan Pentagon pada 11 September 2000 atau lebih dikenal dengan 9/11.

Ironisnya, saat kelompok ini dipaksa ‘tiarap’ di negeri jiran Malaysia. Justru sebaliknya, kini malah mereka digdaya di negara asalnya, Indonesia.

Jika dulu orang Indonesia memutuskan untuk hijrah ke Malaysia guna menghindari tindakan represif pemerintah Soeharto. Namun pasca tumbangnya rezim Soeharto dan beralih pada era reformasi, berbalik orang-orang Malaysia yang memutuskan untuk hijrah ke Indonesia dan membuat ulah.

Kelompok JI memang sudah tidak lagi berkembang di Malaysia, bahkan lembaga-lembaga pendidikan yang dituding sebagai basis pengkaderan pun sudah tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.

Meski demikian, lantas hal ini tidak menjadikan kita menutup mata akan ancaman yang setiap saat bisa datang kapan saja. Wallahu'alam...

Link gambar: https://terrortrendsbulletin.com/category/jemaah-islamiyah/

Komentar

Tulis Komentar