Ketika ‘Korban’ Penyelenggaraan Pemilu Lebih Besar dari Korban Teror Bom Bali 2002

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Berita mengenai petugas penyelenggara pemilu yang meninggal dunia hampir selalu ada setiap hari dalam dua pekan terakhir. Dalam beberapa penyelenggaraan pemilu sejak era reformasi, baru kali ini terjadi kasus meninggalnya para petugas penyelenggara pemilu dalam jumlah yang sangat besar.

Berdasarkan pernyataan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah petugas mereka yang meninggal dunia per tanggal 30 April 2019 adalah 331 orang. Sementara itu, jumlah petugas yang sakit sebanyak 2.232 orang. (Lihat https://news.detik.com/berita/d-4531235/bertambah-lagi-petugas-kpps-yang-meninggal-dunia-jadi-331-orang )

Jumlah yang sangat besar. Bahkan lebih besar dari jumlah korban jiwa pada kasus Bom Bali 2002 yang merupakan serangan teror terbesar di Indonesia. Dan angka itu masih sangat mungkin akan terus bertambah mengingat proses rekapitulasi surat suara masih berlangsung.

Menurut para pakar dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ada sedikitnya empat faktor yang menyebabkan kematian para petugas pemilu tersebut. Yaitu : umur petugas terlalu tua, ada yang punya riwayat sakit, kerja tidak memperhatikan waktu, dan lingkungan kerja yang tidak memenuhi syarat. ( Lihat https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4529815/296-petugas-kpps-meninggal-ini-analisis-fakultas-kedokteran-ui )

Terkait fenomena besarnya ‘korban penyelenggaraan pemilu’ kali ini yang lebih besar dari korban serangan teror terbesar di Indonesia, saya sebagai mantan orang yang pernah menjadi bagian dari kelompok pelaku teror di Indonesia memiliki beberapa pertanyaan.

Mengapa masyarakat cenderung adem-adem saja menyikapi hal ini ? Padahal jumlah korbannya cukup besar.

Bagaimana cara dan sistem kerja para petugas itu sehingga bisa terjadi kasus ‘kematian massal’ seperti itu ?

Siapa yang membuat aturan kerja ?

Mengapa baru sekarang terjadi di saat anggaran pemilu disebut-sebut sebagai yang terbesar dalam sejarah pemilu di Indonesia ?

Siapakah yang paling bertanggungjawab atas kejadian luar biasa ini ?

Apakah misalnya jika terbukti bahwa faktor peraturan penyelenggaraan pemilu yang menjadi penyebabnya, para pengambil kebijakannya bisa dituntut  secara hukum ? (Baca : KPPS Disarankan Kerja Shift, KPU: Secara UU Tidak Mungkin)

Bagaimana nasib keluarga yang mereka tinggalkan ?

Pertanyaan-pertanyaan itu sebenarnya tak perlu dijawab sekarang. Biarlah waktu yang akan menjawabnya.

Tetapi yang harus segera dilakukan adalah  memperhatikan keluarga para ‘korban’. Kehilangan anggota keluarga secara mendadak itu sama saja, baik sebagai korban aksi terorisme, korban kecelakaan, korban kejahatan, maupun korban dari kasus luar biasa dalam menjalankan tugas seperti ini.

Beban terbesar tentu saja ada di pemerintah sebagai penyelenggara negara. Bagaimana pun penyelenggaraan pemilu ini adalah urusan mereka. Kasus banyaknya petugas pemilu yang meninggal dunia ketika menjalankan tugas ini harus menjadi evaluasi bersama agar tidak terulang lagi di masa mendatang.

Komentar

Tulis Komentar