Belasan DPO Interpol Taiwan Ditangkap di Semarang

Other

by Eka Setiawan

Sebanyak 40 Warga Negara Asing (WNA) asal Taiwan dan Tiongkok ditangkap Divisi Keimigrasian Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah di Kota Semarang. Dari jumlah tersebut, 12 di antaranya berstatus Daftar Pencarian Orang (DPO) alias buronan Interpol Negara Taiwan.

Mereka ditangkap pada Kamis (18/4/2019) di Perumahan Puri Anjasmoro Blok M2 nomor 11, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang, sekira pukul 17.00 WIB. Hasil pemeriksaan sementara, mereka melanggar regulasi tentang keimigrasian dan kejahatan siber. Mereka masuk Indonesia sejak Desember 2018.

Kepala Divisi Keimigrasian Kanwil Kemenkumham Jawa Tengah, Ramli H.S, menyebut penangkapan berawal dari kecurigaan atas banyaknya WNA berusia muda yang masuk di Kota Semarang, namun tujuannya tidak jelas.

“Jadi ada kecurigaan kami tentang aktivitas yang mereka lakukan di Kota Semarang,” kata Ramli saat memberikan keterangan pers di Rumah Detensi Imigrasi, Kota Semarang, Senin (22/4/2019) siang.

Petugas, sebut Ramli, kemudian melakukan penyelidikan intensif. Termasuk, berkoordinasi dengan pihak Taipe Economic and Trade (TETO) di Jakarta. Hasilnya, izin tinggal para WNA itu bermasalah, termasuk dokumen paspor yang mereka pegang.

“Karena paspor sudah tidak berlaku dan ada pelanggaran izin tinggal (overstay), maka di dalam ranah penegakan hukum keimigrasian akan dilakukan penegakan hukum oleh kami (melalui PPNS Imigrasi), dan untuk permasalahan cyber crime akan kita serahkan kepada Polda Jawa Tengah untuk menanganinya,” lanjut Ramli.

Saat digerebek di Tempat Kejadian Perkara (TKP), ditemukan sejumlah barang bukti. Di antaranya; 2 unit modem GPON, 4 unit router, 3 unit switch link, 1 unit access point, 27 unit IAD (Integrated Access Device), 2 unit handphone Nokia, 26 unit smartphone, 4 unit tablet, 2 unit monitor, 5 unit laptop, 19 unit, 11 unit wireless telephone, 64 unit telepon pstn, 22 unit handy talkie (HT), uang tunai sebanyak Rp35juta dan 11 buah paspor negara Taiwan.

TKP juga sudah dimodifikasi sedemikian rupa menjadi ruang kedap suara. Tujuannya, untuk melancarkan aksi kejahatan mereka melalui saluran telekomunikasi.

Berpura-Pura Jadi Penegak Hukum

Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jawa Tengah, Kombes Pol Hendra Suhartiyono, mengatakan, anak buahnya di Sub Direktorat V Cyber Crime melakukan penyelidikan atas kejahatan yang dilakukan para WNA tersebut.

Hendra, menjelaskan modus kejahatan para WNA itu adalah penipuan dan pemerasan terhadap para korban yang berada di Tiongkok maupun Taiwan melalui sambungan telepon maupun chat pada aplikasi Skype.

Para pelaku berpura-pura menjadi penegak hukum dari instansi tertentu, menghubungi calon korban dan mengatakan ada tindak pidana yang membelitnya.

Untuk meyakinkan, para pelaku yang menyamar meminta korban menghubungi nomor telepon tertentu, apakah itu kepolisian atau pihak pengadilan. Padahal, mereka itu juga sindikat kelompok tersebut.

Setelah korban terjerat, para pelaku itu menawarkan bisa membantu menyelesaikan perkaranya, dengan syarat membayar sejumlah uang ke nomor rekening tertentu, baik di Tiongkok maupun Taiwan.

“Pelaku mendapatkan identitas maupun nomor telepon calon korbannya dari aktivitas hacking data e-commerce dan data jual beli,” jelas Kombes Hendra.

Dari penyelidikan dan koordinasi lanjutan pihaknya, didapati 12 orang Taiwan yang ditangkap itu adalah DPO Interpol Taiwan. Mereka melakukan kejahatan serupa di Jepang dengan korban para warga negara Taiwan.  Mereka ditetapkan buronan Interpol sejak Agustus 2018.

Selepas dari Jepang, mereka masuk ke Indonesia dan sempat tinggal di Bali, melakukan kejahatan serupa, sebelum masuk ke Kota Semarang dan berakhir penangkapan.

Hingga berita ini diturunkan, para WNA itu masih ditahan di Rudenim Semarang. Langkah lebih lanjut masih diproses dan dikoordinasikan, termasuk dengan perwakilan negara mereka masing-masing. Apakah akan langsung dilakukan pendeportasian atau diproses hukum di Indonesia.

Hendra menyebut, kejahatan seperti itu bisa dijerat Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman pidana maksimal 6 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp1miliar.

Terkait banyaknya pertanyaan dan isu yang berkembang di masyarakat bahwa penindakan tersebut berhubungan dengan gelaran pemilihan umum (Pemilu), Hendra membantah.

“Ini murni kejahatan siber, tidak ada kaitannya dengan Pemilu,” tegasnya.

Komentar

Tulis Komentar