Kenapa Jalan Kekerasan Selalu Menjadi Pilihan?

Other

by Kharis Hadirin

Persoalan tentang terorisme memang tak pernah lepas dari yang namanya kekerasan. Kekerasan, apapun bentuknya memang selalu menyakitkan. Tak hanya menyakiti fisik, tapi juga perasaan. Eh...

Lalu, kenapa kekerasan selalu menjadi pilihan?

Sebab hanya dengan cara ini yang mereka bisa. Lewat prestasi pun masih mikir dahulu, apa ya kira-kira.

Jika pun mereka dipaksa untuk bersaing, persaingan model seperti apa. Sebab sejatinya, kelompok ini minus segala-galanya, namun paling berisik sejagat raya.

Karenanya mereka paham betul, nyinyir saja memang tak cukup, butuh suara ‘nyaring’ yang bisa didengar hingga masuk ke bilik istana.

Maka mereka menempuh jalur kekerasan dengan menciptakan teror dimana-mana, sebab hanya itu yang mereka bisa tunjukkan di depan wajah umat manusia.

Nah ngerinya lagi, kadang mereka juga sering main bom-boman. Mana seringnya main di tempat keramaian.

Kan tidak lucu juga, lagi enak janjian di kafe atau mall untuk kencan sama gebetan baru hasil kenalan dari Tinder, eh tiba-tiba tempatnya dibom.

Coba mereka yang suka main bom dan gemar nembakin orang ini hobinya dialihkan pada hal lain.

Misalkan, bom cinta untuk kaum jomblo sejati. Atau daripada nembakin orang pake senjata api, bagaimana kalu dirubah jadi nembakin hati cewek. Atau lagi, cara jitu nembak hati cewek menurut para ahli fiqih. Jika begini kan enak, dan yakin pasti akan diterima oleh semua kalayak.

Jika boleh dikata, mereka ini memang tak ubahnya anak kecil yang butuh perhatian dan kasih sayang orang tua. Orang tuanya siapa? Ya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mereka selalu berpikir bahwa negara ini punya salah dan dosa, kepada mereka tentunya.

Jika ditanyakan pada mereka tentang dosa apa yang dilakukan pemerintah pada mereka, jawabnya selalu sederhana, ketidakadilan.

Masalahnya, adil menurut mereka tak selalu proporsional. Yang terjadi justru cenderung lebih banyak dipaksakan. Orang dipaksa untuk mengamini bahwa pemerintah telah berlaku sewenang-wenang.

Sebab jika mereka menunjuknya pada umat Islam, maka umat Islam mana yang merasa disakiti oleh pemerintah? Toh, semuanya berjalan aman-aman saja.

Padahal, jika ditelisik lebih dalam, konsep ‘injustice’ yang mereka kampanyekan kadang ambigu dan tak masuk akal. Malah sering jadi lucu-lucuan.

Lihat saja pada setiap kasus terorisme yang ada. Mereka yang ditangkap dan ditanya soal motif, pasti ada-ada saja.

Barangkali publik masih ingat soal rencana pembunuhan terhadap Ciputra atau Jamesh Riyadi, para konglomerat beken keturunan Tionghoa, oleh kelompok ini pada awal tahun 2000-an.

Alasannya sederhana, karena keduanya dituding ingin menguasai Indonesia dan mendirikan basis kekuatan kaum Nasrani di wilayah ibu kota.

Padahal realitanya, mereka hanya tidak mampu bersaing dengan keduanya yang sudah terlanjur kebanyakan harta.

Dibandingkan dengan mereka yang butuh menabung sekian tahun lamanya untuk sekedar membeli sepetak rumah, Lah Ciputra dan Jamesh Riyadi hanya perlu tunjuk pulau mana yang ingin dijadikan sebagai kediamannya. Kalau perlu, mungkin mendirikan negara sendiri.

Saya pikir, barangkali pertarungannya akan berbeda jika masing-masing mereka sama-sama tajir melintir.

Atau katakanlah mereka berasal dari pendidikan kece dengan prestasi yang gilang-gemilang, narasi kekerasan yang selama ini mereka gandrungi tentu akan berbeda bentuk dan wujudnya. Bom-boman dan tembak-tembakan tentu tak akan lagi jadi bahasan.

Karenanya, jika boleh usul, kenapa orang-orang ini tidak memilih jalan lain yang lebih bisa diterima semua kalangan.

Misalkan, ‘Dangdut adalah jalan juang kami’ atau ‘Sebaik-baiknya sedekah adalah yang ngajak makan di restoran, apalagi kalau dibayarin semuanya’.

Selain mereka senang, kita pun ikutan senang dan pastinya semua kenyang. Sebab kenyang itu membahagiakan, apalagi sambil dangdutan. Wallahu'alam...

 

 

Gambar ilustrasi: https://www.business2community.com/social-media/how-to-execute-measurable-social-media-marketing-for-events-0442850

 

Komentar

Tulis Komentar