Dari Kamar Mandi Kita Belajar Berbagi Nasib

Other

by Eka Setiawan

Hidup di kosan atau kontrakan dengan banyak manusia dalam satu ruang kadang enak kadang menyebalkan. Tapi, barangkali itu adalah manifestasi tirakat para perantau yang belum bisa membeli mengontrak rumah sendiri.

Kalau dihitung-hitung, membeli rumah bagi para perantau berpenghasilan pas-pasan atau sedikit lebih beruntung gajian di atas UMR, ya lumayan sih. Alhamdulillah. Setidaknya masih berpenghasilan. Kalau tidak berpenghasilan kan lebih repot lagi. Hidup perantau nekat! Takbirrr!!!

Tapi tunggu dulu,  kalau dihitung-hitung, bagaimana ya kalau rata-rata rumah itu harganya di atas Rp200juta satu bijinya. Sementara, katakanlah, gajian sebulan itu kalau sudah dikurangi bayar listrik, bayar air, WiFi, ngangsur kreditan panci, peralatan mandi, ngopi, belum lagi makan minum, duit tersisa tinggal seratusan ribu saja hahaha. Rasa-rasanya ingin segera menjauh dari dompet.

Jadi ingat peribahasa jauh panggang dari api wkwkwk.  Tapi sekali lagi, harus tetap bersyukur apapun itu. alhamdulillah. Usaha maneh!

Tulisan ini bukan mau cerita tentang harga rumah yang makin melangit, melainkan suka duka hidup bersama beberapa manusia dalam satu kosan atau satu rumah kontrakan.

Menurut saya, pengalaman pribadi nihh, kalau kosan itu dihuni katakanlah 15 manusia sementara kamar mandinya cuma 3 dan itupun kadang ada yang airnya mati, lampu mati, pintu nggak bisa ditutup ataupun persoalan-persoalan lain. Atau lebih nggak enak lagi, dalam satu rumah, yang dihuni beberapa manusia tapi kamar mandinya cuma 1.

Ini yang jadi menarik.

Kebutuhan akan kamar mandi adalah sebuah keniscayaan. Maklum, ini cerita tentang hidup di antara hiruk pikuk perkotaan. Tidak ada kebon, ataupun sungai yang bisa jadi pelarian ketika ada manusia yang tak pengertian menggunakan kamar mandi terlalu lama.

Terkadang, saya kerap menjumpai manusia yang menggunakan kamar mandi sangaaat lama. Ketika mau masuk saja, terlihat menyebalkan. Ke kamar mandi pakai earphone dan bawa ponsel. Coba tebak, mau apa gerangan?

Suatu waktu, sekira pukul 06.00 pagi, manusia satu itu masuk kamar mandi. Padahal, jam-jam itu adalah waktu genting. Di mana, pagi hari yang dingin, bangun tidur kerap pingin buang air kecil dan seterusnya. Tentu ada pula kebutuhan lain akan kamar mandi di pagi hari, misalnya ada pekerjaan keluar yang menuntut kita harus rapi dan tampak segar. Mandi adalah pilihan utama.

Saya mengantre sambil melingkarkan handuk di leher. Diikuti beberapa kawan saya, dengan tampilan serupa. Ada yang terlihat mondar-mandir, sambil menahan kencing.

Tapi, manusia yang ada di kamar mandi itu belum menunjukkan tanda-tanda mandinya sudah selesai. Masih saja asyik dengan gebyar gebyur setelah untuk beberapa waktu yang terdengar dari kamar mandi adalah bunyi lagu dari handphone.

Kawan saya yang kebelet buang air kecil itu makin belingsatan. Raut mukanya menjadi tidak jelas. Perpaduan antara jengkel, bingung dan panik menahan kencing.

“Wah bisa jadi musuh bersama ini, orang yang mandi!,” gumam saya.

Akhirnya kami menggedor-gedor pintu sambil berteriak. “Woii, gantian!!!,” pekik kami.

“Sikkk (sebentar)!” jawab dari kamar mandi.

Mendengar jawaban itu, kami makin kesetanan menggedor kamar mandi. Yang akhirnya, manusia satu itu benar-benar sudah selesai dari kamar mandi. Keluar dengan raut muka tak bersalah.

“Hehehe,” celetuk dia datar.

Kawan saya tadi, yang kebelet buang air kecil, buru-buru masuk kamar mandi. Sejurus kemudian, dia misuh-misuh.

“Pakai kamar mandi lama, keran air nggak dibuka, air dihabiskan, wis dasar ora nduwe pendidikan!!!,” itulah pisuhan kawan saya.

Saya mengamini. Mbok ya, hidup bareng-bareng itu ya mikir nasib temannya, minimal senasib sekamar mandi. Ora seenak udele dewe.

 

 

Komentar

Tulis Komentar