Beberapa hari terakhir, media sosial lagi-lagi gempar. Parameter gemparnya media sosial itu – kalau dari saya sendiri – adalah obrolan beberapa kawan tak berkesudahan di warung-warung kopi, tempat kongkow, sembari menggenggam smartphone.
Sebenarnya itu lumrah di zaman logika viral ini. Ya karena kawan-kawan saya itu adalah netijen, termasuk saya sih, yang rela menghibahkan rupiah demi ditukar kuota internet yang rutenya: (((registrasi – pasang kartu – habis – buang – beli lagi – registrasi lagi begitu seterusnya sampai hafal berdigit-digit nomor KK dan NIK KTP))))
Obrolan gemparnya medsos belakangan itu beragam. Mulai dari “Hey Tayo” kisah the little bus yang sekonyong-konyong menggeser “Om telolet Om”, Tampang Boyolali, sekelompok siswa sekolahan menengah atas di Kendal yang terekam sedang guyonan gelut-gelutan dengan gurunya, marahnya Jerinx Superman is Dead kepada pedangdut Via Vallen soal lagu Sunset di Tanah Anarki (lagu milik SID) yang dibikin koplo tanpa izin, hingga ramainya salah satu Cawapres kita yaituuu Bapak Sandiaga Uno yang melangkahi makam saat ziarah ke makam Pendiri Nahdlatul Ulama K.H. Bisri Syansuri di Jombang, Jawa Timur.
Terkecuali “Hey Tayo”, saya pribadi dengan pandangan yang sangat subjektif, melihat adanya kesamaan antara “Tampang Boyolali”, siswa di Kendal, Jerinx kesal dengan Via Vallen hingga yang terjadi di Bapak Sandiaga Uno itu.
Kemiripannya adalah kejadian itu dengan cepat viral dan menuai protes karena satu hal: tidak menghormati. Satu dianggap menghina tidak menghormati orang Boyolali, satu adalah sekelompok murid yang dianggap tak menghormati gurunya sampai-sampai diajak guyon berkelahi, satu lagi tidak menghormati karena mengcover lagu tanpa izin, dan satunya lagi adalah tidak menghormati karena melangkahi makam, apalagi itu adalah makam kyai atau ulama besar yang tentunya banyak orang, tokoh termasuk para kyai yang menghormatinya.
Hormat menghormati ini, kalau di Indonesia ini yang kental dengan budaya ketimuran, bisa menjadi sangat sakral. Apalagi urusan kepada orang besar, yang dimuliakan, yang dituakan, yang disepuhkan, wah kalau ini dilanggar, bisa jadi musuh bersama dan bisa jadi pergunjingan yang tak berkesudahan.
Budaya ketimuran, apalagi di tanah Jawa ini, kental dengan namanya sopan santun, unggah-ungguh, atau nilai-nilai luhur lain yang dijaga betul kelestariannya turun temurun. Bahkan sampai dibikinkan upacara atau ritual tertentu yang sekali lagi – dalam rangka penghormatan kepada yang dihormati secara komunal –
Saling menghormati ini bukanlah suatu sifat yang kontraprodutif. Sebab apa, dengan jelas kokohnya negara ini berdiri di tengah kemajemukan yang terbilang paling kompleks di muka bumi, nyatanya bisa bertahan. Salah satu kuncinya ya saling menghormati itu.
Saling menghormati, yang muda ke yang tua, yang tua menyayangi yang muda, kalau ambil atau pakai sesuatu bukan miliknya ya minta izin sebagai wujud penghormatan, ataupun menghormati kebiasaan yang sudah turun temurun mengakar.
Ini di luar konteks wah mengekeramatkan makam, wah tidak menghormati guru atau lainnya. Tapi konteksnya adalah dalam rangka menjaga harmoni. Bukankah pepatah di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung tentu diamini banyak orang. Substansinya adalah; orang harus pandai-pandai bersikap, menempatkan diri, berperilaku, supaya tidak ada orang lain ataupun kelompok masyarakat lain yang tersinggung.
Pendidikan boleh setinggi langit, kacama mata boleh tebal karena kebanyakan baca buku, gelar boleh berderet kayak antrian nonton film Bohemian Rhapsody, tapi kalau unggah-ungguh alias sopan santun dinomorduakan, bisa jadi ramai. Menimbulkan gelombang protes.
Apalagi yang mengabaikan unggah-ungguh itu seorang publik figur, yang punya massa banyak. Entah itu massa beneran atau temporal. Mbok ya begini, jangan sampai terjadi perpecahan mulai dari perang tagar sampai bentrok beneran karena hal-hal seperti itu.
Bisa saja kan, massa pendukung itu akan membela figurnya mati-matian melawan massa yang protes karena si figur itu dianggap telah menghina, tak menghormati apa yang dihormati mereka.
Kalau sudah begini bisa jadi ancaman serius kan? berawal dari medsos, menyebar cepat minim logika, menyulut emosi massa, hingga akhirnya timbul gelombang protes dan mungkin terjadi konflik horizontal.
Menjaga tingkah laku: merawat persatuan!
Sumber gambar: https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQyP-IooXq__Xrzp1ePEz77zL6hlX4sZ1wg0iOy9uX0OoLzbmyR