Ketika Anak-Anak Lintas Agama Belajar Adat Kepercayaan Tionghoa

Other

by Eka Setiawan

"Kong Hu Cu, lahir pada tahun 551 SM di Negeri Lu. Saat usia 3 tahun ayahnya meninggal dunia. Ibunya menyusul saat usianya 17 tahun. Karena sejak kecil hidup dalam kemiskinan semangatnya besar. Ia rendah hati, tidak malu bertanya pada orang lain meski pandai. Hari lahirnya dijadikan hari penting di Tiongkok"

Penggalan cerita itu disampaikan Caila Nur Aisah,10, siswi kelas 5 SD Servatius Gunung Brintik Semarang. Caila membacakan cerita itu di depan 39 anak lainnya setelah diminta kakak mentornya, di Klenteng Tay Kak Sie, Kota Semarang, Selasa (11/9/2018) lalu.

Selesai cerita dibaca, kakak mentor kemudian mengajukan pertanyaan kepada anak-anak di depannya.

"Apa pesan kebajikannya?"

Beberapa anak menjawab, bersahutan: rendah hati! tetap bersemangat walau hidupnya susah!

"Ya benar!" timpal mentornya.

Anak-anak kemudian bertepuk tangan.

Kong Hu Cu ini merupakan pendiri Konfusianisme. Falsafahnya mementingkan moralitas pribadi dan pemerintahan. Oleh para pemeluk agama Kong Hu Cu ia diakui sebagai nabi. Kong Hu Cu dianggap sebagai Dewa Pelindung Pendidikan.

Kakak mentor pada kegiatan itu juga menambahkan. "Setiap Dewa melambangkan satu hal yang baik!,"

Setelah Caila duduk, anak lainnya yakni Bunga Eka Noviani,11, maju. Sama seperti Caila, Bunga juga membacakan satu kisah Dewa. Yang dibacakan adalah kisah Kwan Seng Tee Koen.

Dia dikisahkan Kwan Seng Tee Koen terlahir dengan nama Guan Yu di Kabupaten Hedong sekira tahun 200. Dia melawan pejabat yang semena-mena hingga jadi buronan. Wataknya yang lurus dan hebat bertempur membuatnya banyak diperhitungkan.

Meski kerap mendapat hadiah, Guan Yu tak mau memakainya. Dia memilih sederhana. Hingga suatu ketika Guan Yu tertangkap dan dipenggal. Dia dikubur dengan upacara penghormatan karena sifat baiknya semasa hidup.

Usai membaca kisah Dewa itu, gadis kecil berkerudung itu kembali duduk bersama anak-anak lainnya. Lalu kembali menyimak cerita yang disampaikan anak-anak yang lain.

Modelnya, setiap anak dibagikan 14 kartu berisi kisah para Dewa. Mereka menyimak sekaligus maju ke depan bergantian membacakan cerita.

Kegiatan itu bernama Anak Semarang Damai (Semai), digagas EIN Institute, Ikatan Karya Hidup Rohani Antar Religius (IKHRAR) Rayon Semarang dan Persaudaraan Lintas Agama (Pelita). Mereka membawa motto: Semaikan Cinta dalam Keberagaman.

Anak-anak yang ikut kegiatan itu berangkat dari berbagai latar belakang religius. Mulai dari; Islam, Buddha, Hindu, Kristen, Katolik, Tridharma (Samkao) hingga Penghayat. Anak-anak yang ikut berusia 10 – 12 tahun.

Bergantian membacakan kisah para Dewa adalah salah satu kegiatan di program itu. Kegiatan lainnya di hari itu; anak-anak diberikan gambar tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan klenteng kemudian mencarinya.

Selain itu juga, anak-anak duduk mendengarkan materi yang disampaikan para mentor. Materinya seputar; mengenalkan apa itu klenteng, fungsinya apa, ajarannya, hingga seputar adat kepercayaan orang Tionghoa.

Anak-anak senang. Ini seperti juga diungkapkan Naila Islamia Putri Santoso,12, seorang siswi home schooling yang ikut kegiatan Anak Semarang Damai.

“Saya sudah dua kali ikut, yang pertama di Lasem (Rembang, Provinsi Jawa Tengah). Senang dapat teman-teman baru,” ungkap gadis berkerudung itu tersenyum.

Ketua IKHRAR Rayon Semarang, Heri Irianto, mengatakan saat ini ada kebutuhan besar untuk mengkampanyekan toleransi dan cinta kasih di tengah perbedaan.

“Kalau dicermati, program belajar keberagaman untuk orang dewasa sudah banyak, untuk pemuda dan remaja juga sudah ada. Tapi, untuk anak-anak belum disediakan. Padahal kalau sejak anak-anak biasa saling menghargai perbedaan, tentu nanti setelah dewasa akan jadi orang yang toleran dan damai,” kata Heri.

 

FOTO-FOTO EKA SETIAWAN

Kegiatan Anak Semarang Damai di Klenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, Kota Semarang, Selasa (11/9/2018).

Komentar

Tulis Komentar