Padamu negeri kami berjanji
Padamu negeri kami berbakti
Padamu negeri kami mengabdi
Bagimu negeri jiwa raga kami
(Bagimu Negeri - Cipt. Kusbini)
Bait dalam lagu nasional di atas, sejenak akan mengingatkan kita kembali akan kenangan kehidupan masa kecil dulu, menjadi nostalgia bagi yang lahir era 80 – 90an. Bagaimana tidak, di hampir setiap malam lagu kebangsaan tersebut diputar secara nasional dan disiarkan melalui saluran radio RRI di akhir closing berita maupun siaran TVRI di TV yang masuk ke pelosok rumah-rumah kita.
Saking seringnya diputar di tiap bilik-bilik rumah, seolah menjadi nyanyian kidung bagi anak-anak menjelang tidur di malam hari. Lekat bak urat nadi.
Bukan hanya lagu Padamu Negeri saja yang biasa mengudara di beranda hiburan tanah air kita, lagu-lagu kebangsaan lainnya pun seolah tak luput menghiasi kehidupan masa kecil dulu. Bahkan barangkali, bagi kita yang lahir masa itu, sampai sekarang masih ingat atau hafal sebagian besar lagu-lagu nasional kita.
Ironisnya, kini sumbang ibu pertiwi tak lagi bersuara, kehilangan makna dan tak lagi bergairah. Seolah membisu atau terpaksa dibisukan justru oleh kita sendiri yang menganggap diri sebagai pewaris bangsa. Tega mengoyak sendi-sendi kebangsaan yang telah dibangun bersama oleh para pendiri yang memperjuangkan negeri ini dengan peluh keringat dan darah akibat korupsi.
Kejahatan korupsi yang kian menggurita dan mendera negara ini, tak ubahnya parasit yang menggerogoti wibawa bangsa. Kadang miris melihat para pelakunya masih bisa tersenyum ramah di depan kamera, seolah telah jatuh harga dirinya, telah tergadai rasa malu yang dulu pernah melekat di jiwanya.
Bangsa yang pernah berdiri tegak dan gagah di tengah gempuran dan desing peluru, bahkan pekik Indonesia Raya menggema dan memantulkan suaranya hingga pelosok desa setiap 17 Agustus tiba, bukti akan negara ini pernah merdeka. Lalu jatuh tersungkur akibat ambisi dari para koruptor yang ingin mengeruk keuntungan pribadi semata.
Korupsi hanyalah menyisakan kemiskinan bagi rakyat. Menjadi duka bagi rakyat yang harus merintih di tanah sendiri, tanpa siapa pun yang peduli. Dan rakyat, terpaksa mengemis belas kasih dari bangsa sendiri, bangsa yang pernah diperjuangkannya dengan darah dan bertaruh nyawa.
Kini, kemiskinan seolah menjadi cermin bagi wajah ibu pertiwi. Tak ubahnya penyakit titanus, kian lama semakin menggerogoti gagah sang saka burung garuda. Simbol agung nan berwibawa, menjadi lemah tak berdaya.
“Kulihat ibu pertiwi, sedang bersusah hati. Air matamu berlinang, mas intanmu terkenang,” bait puisi ciptaan Ismail Marzuki dan pernah dinyanyikan oleh Cikitha Meidy tersebut seolah menjadi teguran bagi kita, bahwa bangsa ini tidak boleh larut dalam duka.
Sebab sejatinya, lagu kebangsaan bukan hanya sebatas suara sumbang yang berisi sumpah serapah. Namun, ia diciptakan dari intisari perjuangan bangsa ini dalam meraih kemerdekaan, dengan mengorbankan putera-puteri terbaik negeri dari cengkeraman penjajah kolonial.
Ia hadir untuk membangkitkan kembali kenangan, menumbuhkan akan kesadaran diri bahwa kita lahir dari bangsa yang besar, menyemaikan cinta akan tanah air, tanah tumpah darah kita, Republik Indonesia.
Sumber foto: http://www.aktual.com/dianggap-ganggu-kenyamanan-satpol-pp-persempit-ruang-gerak-pengemis/
Nostalgia Bait Ibu Pertiwi
Otherby Kharis Hadirin 13 Agustus 2018 2:59 WIB
Komentar