Ketika Bulan “dimakan” Buto

Other

by Eka Setiawan

 

Akhir pekan lalu di penghujung Juli ini, terjadi fenomena langka di langit. Adalah Gerhana Bulan Total dengan fase totalitas terlama; 103 menit.

Peristiwa langka yang terjadi 1 abad sekali ini juga disebut micro blood moon. Di mana bulan terlihat berwarna merah saat fase gerhana total sekaligus terlihat lebih kecil dari biasanya. Sebab, pada fase itu Bulan berada pada jarak terjauh dari Bumi.

Fenomena ini dimaknai beragam. Termasuk masih adanya mitos seputarnya. Seperti obrolan beberapa waktu sebelum terjadi gerhana itu, di sebuah gang di Semarang, ramai ibu-ibu memperbincangkan soal akan adanya gerhana.

"Mengko bengi ana gerhana, kuwi sing meteng aja entuk metu omah. Cah cilik-cilik harang. (Nanti malam ada gerhana, itu yang hamil jangan boleh keluar rumah. Anak-anak kecil juga)," demikian obrolan yang terjadi antartetangga.

Mereka khawatir, ketika keluar rumah saat gerhana bagi wanita hamil bisa menyebabkan keguguran kandungan. Mitosnya, Buto - makhluk mitologi dalam masyarakat Jawa berwujud raksasa - akan memakannya.

Seperti juga Bulan, saat fase gerhana artinya sedang dimakan oleh Buto.

Mitos seputar gerhana juga terjadi di beberapa daerah lain. Saat saya kecil, di Kota Tegal, mbah buyut dan beberapa orang tua lainnya juga mengatakan hal kurang lebih sama: kalau ada gerhana, dilarang keluar rumah, khawatir akan diculik Buto.

Di beberapa tempat lain di Indonesia, mitos seperti itu juga masih ada. Sebab itulah di beberapa wilayah, masih ada masyarakat yang melakukan berbagai ritual sebagai tolak bala.

Misalnya saja memukul kentongan, lesung bahkan aneka perkakas dapur selama gerhana terjadi. Tujuannya agar si Buto takut dan pergi, tidak jadi makan Bulan.

Mitos jika dirunutkan berasal dari bahasa Yunani: muthos berarti mulut ke mulut (cerita yang diteruskan dari mulut ke mulut, satu generasi ke generasi berikutnya. Mitos kerap mengandung hal-hal gaib, sakral, susah dipahami nalar, dan bersifat supranatural.

Pada masyarakat tradisional, mitos ini masih tetap ada meski zaman sudah maju. Meskipun informasi dan perkembangan ilmu pengetahuan juga menjelaskan secara ilmiah tentang penyebab terjadinya gerhana, tapi mitos tidak serta merta hilang begitu saja.

Pada bagian lain, ketika terjadi gerhana Bulan, pekan lalu, Masjid di samping tempat kos saya juga menggelar Salat Gerhana Bulan berjamaah. Salat sunah sebagai salah satu pengingat kebesaran Gusti Allah, Sang Pencipta.

Ada yang bisa dilihat dari dua hal tersebut. Mitos yang hidup turun-temurun, meski terdistorsi zaman, bisa dimaknai sebagai pengingat. Ada sebab akibat, ada kebaikan dan keburukan.

Seperti mitos saat Gerhana Bulan itu, Buto adalah manifestasi dari keburukan akan kalah oleh kebaikan. Mitos lebih dari sekadar cerita, di dalamnya selalu ada pesan-pesan kebaikan, bagaimana menjaga kehidupan dan interaksi manusia dengan alam.

Pun juga dengan ritual keagamaan, dilakukan sebagai wujud rasa syukur, doa mendoakan, hingga pengingat pada Yang Maha Kuasa.

Artinya, manusia ini tidak hidup sendiri, ada kekuatan-kekuatan lain yang jauh lebih besar dari manusia. Sebab itulah, melalui cerita-cerita cerita, melalui ritual-ritual, kita selalu diingatkan akan kebaikan-kebaikan.

 

FOTO-FOTO EKA SETIAWAN

Fase Gerhana Bulan Total, Sabtu (28/7/2018) diamati dari Kota Semarang. Fenomena langka ini, terjadi dini hari hingga jelang Matahari terbit.

Komentar

Tulis Komentar