Peniru Ulung

Other

by Eka Setiawan

 

Ketika makan di sebuah warung penyet Lamongan, Minggu (22/07/2018) malam di sekitaran Kampus Universitas Diponegoro (Undip) Tembalang Semarang, terlihat seorang anak kecil memainkan pesawat-pesawatan yang dia bawa.

Dia memegang pesawat mainannya yang panjangnya kisaran 70an centimeter dengan tangan, lalu berjalan-jalan setengah berlari di antara meja-meja lesehan warung. Pesawat mainannya seolah sedang terbang.

Sesekali, seorang perempuan paruh baya yang duduk di salah satu meja, mengingatkan si anak. Tampaknya itu ibunya. Si anak diingatkan agar saat bermain tidak perlu berputar-putar ke beberapa meja. Mungkin pakewuh pada konsumen lain yang sama-sama lagi makan, takut ngganggu.

Si anak hanya menoleh ke ibunya, cuek, lalu berputar-putar lagi. Kali ini tak hanya berputar, si anak itu bahkan naik ke meja lesehan yang saat itu kosong. Agar pesawat mainannya terbang makin tinggi!

Si ibu kembali mengingatkan, dan tentunya bisa ditebak, si anak tetap saja cuek. Lebih asyik dengan mainannya daripada nurut si ibu. Pemandangan ini membuat beberapa pengunjung warung, melihat dengan senyum-senyum. Pun termasuk saya.

Pasalnya, si anak ini memang lucu. Pipinya tembem, gemuk, dan kalau sedang setengah berlari membawa pesawatnya ini, mulutnya seperti meniup, mengeluarkan suara wuuushhhhhh wuuuuushhhhhh mungkin maksudnya itu adalah bunyi pesawat terbangnya.

Di bagian lain, ketika saya melihat film dokumenter berjudul Jihad Selfie, ada salah satu adegan di mana seorang bocah kecil (balita) perempuan, berjilbab, mengepalkan tangan dan angkat ke atas sembari berteriak: Allahu Akbar! Tentunya dengan artikulasi yang masih belum sempurna karena usianya. Sepertinya, ingin seperti orang tuanya yang angkat senjata “berjihad”.

Masih soal anak, ada pula yang cukup membuat mikir-mikir sekaligus tertawa, satu helaan nafas. Itu ketika ada seorang anak kecil (balita), yang masih pakai celana dalam dan kaus dalam, terlihat marah-marah sambil nuding ke depannya. Keluarlah beberapa umpatan dari mulut si balita, salah satunya : ntar lu gue bacok! (videonya bisa dilihat pada tautan ini https://www.youtube.com/watch?v=k3J-CoB4r-Q).

Kira-kira, apa saja yang membuat, setidaknya, 3 hal yang dilakukan anak itu muncul seperti itu?

Pakar psikoanalisa terkemuka, Sigmund Freud, berujar bahwa pekerjaan yang paling disukai anak-anak adalah bermain. Salah jika mengira, saat mereka bermain, anak-anak tidak serius menghadapi dunianya. Sebaliknya, mereka sangat serius dalam permainannya dan mencurahkan banyak emosi di dalamnya. (Idi Subandy Ibrahim, Budaya Pop dan Budaya Pendidikan, 2007:333).

Selain itu, anak-anak adalah peniru yang ulung. Maka wajar saja, ketika masa kecil, apa saja yang dilihat, disukai, atau apapun yang akrab dengan kehidupannya sehari-hari, lekat dengan rutinitasnya, itulah yang mereka tiru.

Anak-anak yang dibesarkan di lingkungan pemarah, bisa sangat mungkin akan ikut seperti itu. Anak-anak di lingkungan yang tiap hari isinya bermain musik, sedikit banyak akan terpengaruh, pun termasuk anak-anak yang tiap hari berselancar menonton YouTube ataupun televisi dengan berbagai acaranya, cenderung akan ikut-ikutan seperti itu. Produk-produk ini, sebut saja media, akan sulit dibendung. Tak mungkin juga orang tua akan mengawasi 24 jam anak-anaknya melihat apa saja.

Psikolog, Prof. Sarlito Wirawan Sarwono (2000) menuliskan; acara - acara TV, gosip dalam Tabloid, misalnya, sama sekali di luar kekuasaan orang tua untuk mengaturnya. Untuk tidak punya televisi, melarang anak - anak membaca tabloid, juga tidak memecahkan masalah. Karena anak - anak bisa menonton TV (termasuk VCD) di rumah tetangga atau meminjam tabloid teman untuk membacanya.

Karena anak-anak adalah masa depan, orang-orang yang nantinya jadi besar, menggusur  menggantikan yang tua-tua, tentunya segala sesuatunya harus dipersiapkan. Sebagai generasi pengganti. Tak mungkinkan, nantinya akan diisi generasi intoleran, generasi marah-marah atau sebutan kontraproduktif lainnya.

Salah satu yang mungkin bisa untuk membendung berbagai pengaruh tak baik terhadap karakter anak, adalah dengan menciptakan pengaruh tandingan. Pengaruh itu bisa saja berupa tulisan, video, lagu, film, ataupun karya-karya lain, lalu disebarkan ke khalayak lewat berbagai media yang ada.

Dari sini, setidaknya mereka akan punya referensi lain, entah itu cerita atau tontonan yang memang bagus untuk karakternya. Bukan cuma tontonan bentrok, kekejaman, marah-memarahi, bintang tamu televisi ‘yang hanya’ mengandalkan logika viral, ataupun sinetron-sinetron yang judulnya saja membuat pusing kepala saking ruwetnya dipahami.

 

 

FOTO EKA SETIAWAN

Pengunjung mengabadikan dengan smartphone salah satu karya di ajang Pameran Kartun Internasional bertema Literasi Media yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah, di Kota Semarang. Foto diambil 9 Mei 2018.

Komentar

Tulis Komentar