Membaca berbagai berita tentang jenazah-jenazah yang ditolak oleh warga untuk dimakamkan di kampung halamannya, membuat saya bertanya-tanya. Apakah orang-orang sudah kehilangan cara untuk memaafkan, hingga stigmatisasi terhadap si meninggal sampai-sampai dibawa mati?
Dari beberapa berita yang saya baca itu, di antaranya; jenazah seorang pengungsi Syiah yang ditolak warga untuk dimakamkan di kampung halamannya, Sampang, Madura, pada pertengahan Juni lalu. Sampai-sampai ambulans yang membawa jenazah dicegat. Kemudian ada juga jenazah para teroris yang juga ditolak warga, seperti yang terjadi di Surabaya Mei lalu.
Rata-rata, penolakan itu karena warga geram dengan apa yang sudah dilakukan si meninggal semasa hidup. Seperti para bomber pengebom di tempat ibadah itu.
Memang betul, perbuatan menebar ancaman, membunuhi orang-orang lain, tidak dibenarkan atas nama apapun. Mau atas nama hukum ataupun nurani, sudah barang tentu salah. Terlebih atas nama agama, membawa nama-nama Tuhan. Agama macam apa yang mengajarkan kebencian?
Pun dengan penolakan-penolakan yang terjadi. Agaknya, kalimat agama macam apa yang mengajarkan kebencian juga berlaku di sini. Bukannya agama juga mengajarkan tentang memaafkan?
Stigmatisasi sampai mati ini, setidaknya menurut saya, hanya buang-buang energi. Mau sampai kapan energi dihabiskan hanya untuk melabeli orang-orang mati? Oh ini si jahat, oh ini si baik. Bukankah persoalan baik buruk, mau masuk surga atau sebaliknya, itu ‘prerogatif’ Tuhan? Kalau Tuhan berkehendak, manusia bisa apa?
Stigmatisasi bagi yang hidup, makin merepotkan lagi. Oh ini eks pencandu narkoba, oh ini eks teroris, oh ini orang yang pernah nganu, ataupun sebutan kontraproduktif lainnya. Kalaupun mereka pernah melakukan kejahatan, Indonesia negara hukum berarti mereka melanggar hukum dan sudah divonis hukuman, masa iya harus menambah panjang hukumannya dengan penghakiman publik.
Jika ini terus terjadi, maka alih-alih labelisasi yang putih pastilah suci, bisa jadi tanpa arti. Bagi mereka yang pernah melakukan pelanggaran hukum dan dihukum, alangkah baiknya dirangkul kembali, diterima dengan senang hati, untuk kembali ke kehidupan masyarakat. Toh, mereka butuh melanjutkan hidup, tak mungkin bisa sendiri.
Masyarakat yang pemaaf, amat mungkin menjadi energi yang besar untuk membantu mereka-mereka yang pernah tergelincir kesalahan untuk bangkit. Bahkan mungkin, -jika toh mereka masih ada keinginan mengulang kejahatan – amat mungkin masyarakat yang pemaaf ini bisa mengikis niat mengulangi itu.
Bangsa kita bangsa pemaaf, buktinya? Beberapa teman yang saya lihat, masih menjagokan Belanda saat main bal-balan di Playstation. Hehe. Atau sorak sorai mendukung Jepang – mantan penjajah lainnya – saat adu tanding melawan Belgia di laga 16 besar Piala Dunia kemarin.
Memang betul, kebencian tak perlulah dirawat, apalagi diwariskan kepada anak cucu. Bisa-bisa nanti repot sendiri. Misalnya: mau upload foto kincir angin, kalah dengan gengsi, mau upload foto indahnya Gunung Fuji, juga gengsi. Masa upload hal-hal berbau mantan penjajah, kan sudah kadung membenci. Hehehe.
Jadi ingat kutipan Nelson Mandela, si revolusioner Afrika Selatan: tiada masa depan tanpa memaafkan.
Sumber gambar: https://www.belkedamaian.org/wp-content/uploads/2016/08/DAMAI-DAMAI-DAMAI-810×755.jpg