Tentara Tuhan di Muka Bumi

Other

by Kharis Hadirin

Sejak peristiwa ledakan bom bunuh diri di 3 gereja di Surabaya pada 13 Mei 2018 lalu, sampai sekarang seolah masih menyisakan trauma mendalam bagi masyarakat atas aksi keji tersebut. Bayangkan saja, di saat umat sedang berjalan khidmat menuju rumah peribadatan, umat yang lain justru datang menebar ancaman.

Ironisnya, pelaku melakukan aksi keji ini juga atas nama Tuhan. Seolah Tuhan dipaksa untuk dijadikan sebagai alat pembenaran, dengan menyerang mereka yang tidak seiman. Wajar, jika banyak orang mempertanyakan apa hakikat fungsi agama sebagai rahmat bagi seluruh alam. Sebab nyatanya, makna salam “keselamatan” tak lagi meniupkan kedamaian.

Kenapa agama menjadi begitu rentan, dibajak sesuka hati oleh mereka yang mengklaim diri sebagai tentara Tuhan?

Bukankah Tuhan justru menyeru agar kita sebagai hamba-Nya untuk menyebarkan perdamaian, mengajak kepada kebajikan, dan memberi makan kepada mereka yang berkesusahan. Paling tidak, ketika kita tidak bisa menyeru manusia dalam hal kebaikan, lantas tidak menjadikan kita justru menebar ancaman dan merusak alam.

Dan sepekan lalu, lagi-lagi kita dikejutkan oleh sebuah ledakan. Meski tidak ada jatuh korban, namun nyata hal itu masih cukup menjadi ancaman. Terlebih, ledakan itu terjadi di tengah pemukiman padat yang selama ini hidup rukun dalam keberagaman.

Pihak kepolisian menyebut bahwa pelaku bukanlah warga setempat yang sedang menghuni di sebuah rumah kontrakan. Tepatnya, di Jalan Pepaya, RT. 01/RW. 01, Kelurahan Pogar, Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan.

Pria bernama Anwardi alias Ahmad Abdul Rabani alias Abu Ali alias Abdullah alias Abdullah Anwar (47), disebut oleh pihak kepolisian sebagai pemilik bom yang meledak di dalam rumah kontrakannya.

Lebih lanjut, bom tersebut tadinya akan ia gunakan untuk membuat onar di tengah masyarakat yang sedang memberi suara untuk memilih calon pemimpin yang akan membangun daerahnya.

Bagi Anwardi, mungkin apa yang dilakukannya adalah bagian dari keyakinan ibadah. Suatu amalan yang jika dilakukannya akan mendapatkan pahala. Tidak peduli siapa yang akan menjadi korban. Toh, jika ia sendiri yang harus mati, ia yakin bahwa Tuhan akan menempatkannya sebagai kekasih-Nya di surga.

Meski penjara pernah merenggut kehidupannya. Baginya, itu tidak akan menyurutkan langkah untuk tetap terus berjuang menerbakan teror bagi sesama.

Kita tahu, bahwa Anwardi sendiri pernah mendekam dipenjara pada 2010 lalu. Dimana ia berencana melakukan pengeboman pada sebuah kantor kepolisian di sekitaran wilayah Bekasi, Jawa Barat.

Ia berpikir, bahwa bangsa ini dan seluruh aparatur negara telah mengabaikan peraturan Tuhan. Sehingga Anwardi merasa terpanggil jiwanya untuk memberikan hukuman bagi mereka yang ingkar.

Tiada suatu amalan yang lepas dari campur tangan Tuhan. Siapa sangka, bom yang ia bawa terjatuh dari sepeda yang dituntunnya di tengah jalan sebelum mencapai lokasi yang menjadi tempat tujuan. Lalu meledak, menyebabkan Anwardi terpental dan terluka parah. Ia kemudian dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan dan menerima ganjaran hukuman penjara atas perbuatannya. Hingga 2015 lalu, ia dinyatakan bebas secara bersyarat.

Setelah bebas, bukannya mengambil pelajaran atas apa yang telah ia kerjakan dan menata diri untuk menjadi pribadi yang lebih bermanfaat bagi sesama, minimal untuk keluarga. Justru kesempatan tersebut ia gunakan untuk mencoba kedua kalinya setelah yang pertama gagal. Anwardi kembali merakit bom. Namun gagal lagi dan melukai anaknya.

Mungkin kita bertanya, manusia macam apakah yang begitu mudah menebar ancaman bagi sesama, sementara ia begitu girang menyaksikan orang lain ketakutan atas ulahnya?

Jika mereka menginginkan dan mengharapkan adanya perang, bukankah ada musuh nyata yang mencolok di depan mata kita. Kebodohan dan kemiskinanlah sebenar-benarnya musuh yang selama ini menggerogoti kewibawaan kita sebagai bangsa dan umat yang besar.

Jika solusi yang ditawarkan untuk merubah kebodohan dan kemiskinan yakni dengan membuat kerusakan, lantas apa alasan Tuhan menitipkan akal pada setiap manusia? Bukankah ia (akal) menjadi pembeda antara manusia dan binatang meski hidup berdampingan. Manusia sebagai makhluk sempurna dengan segala kelebihan yang dimilikinya, hendaknya mampu mengantarkannya pada derajat tertinggi di muka bumi melebihi makhluk lainnya.

Oleh karenanya, jika tidak bisa memberikan manfaat, masihkah pantas menyebut diri sebagai tentara Tuhan dengan menebar ketakutan bagi sesama?

 

Sumber foto : http://www.radiosilaturahim.com/tajuk/doa-untuk-para-pejuang/

Komentar

Tulis Komentar