Belajar di Tambak Ikan

Other

by Eka Setiawan

 

Saat memancing akhir pekan lalu di daerah Tapak, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, saya bersebelahan dengan seorang anak kecil. Di tambak berisi ikan kalper, bawal dan patin, si anak itu tampak serius cum lihai saat melempar kail.

Tak tanggung-tanggung, anak itu membawa 3 joran plus pancing sekaligus. Bukan buat cadangan, tapi ketiganya dia pakai semua: dua adalah joran menggunakan reel, satu lagi biasa disebut pancing tegek.

Pancing model yang terakhir ini lebih sederhana, karena hanya menggunakan batang bambu panjang ramping yang ujungnya diikatkan senar pancing plus kail. Panjang senarnya biasanya sesuai dengan panjang jorannya.

Ada beberapa orang yang mancing di sana tampak memerhatikan si anak kecil di samping saya. Hal itu bukan tanpa sebab. Selain lihai melempar kail, ternyata anak ini juga cukup jago mengetahui kapan waktu untuk menyentak jorannya.

Betul! Beberapa kali dengan rentang waktu berdekatan, anak ini kailnya bolak-balik disambar ikan, laiknya profesional dia menarik kail dan berhasil. Ikan terangkat.

Untuk seukurannya, tarikan ikan ini cukup bertenaga. Beratnya perkiraan 6-8 ons tiap ikan yang dia tarik. Hampir semua pemancing di situ, tersenyum melihat tingkah si anak.

“Wah kecil tapi jagoan mancing,” celetuk salah satu teman melihat anak itu.

Memang, kalau misalnya mancing siang itu dilombakan, pastilah si anak juaranya. Lha wong, berjam-jam mancing di situ, hanya si anak yang bolak-balik strike. Lha saya, sekitaran 3 jam mancing di lokasi yang sama, di tempat yang berdekatan, hanya disambar 1 kali oleh ikan. Itupun saat jelang Magrib, saat di mana pemancingan akan tutup.

“Dek, kamu kelas berapa?,” tanya saya kepada anak kecil itu.

“Saya naik kelas tiga (SD), hari Senin besok (hari ini) mulai masuk sekolah lagi,” jawab si anak yang saat itu memakai topi dan baju bergambar pebalap Moto GP.

“Mancing sama siapa di sini?,” saya kembali bertanya.

“Sama Bapak, itu di sana,” jawabnya sembari menunjuk arah selatan ke seseorang berkaus lengan panjang warna putih.

“Kok jago mancing, sering mancing ya?,” tanya saya lagi.

“Ndak kok. Paling kalau libur,” jawabnya.

Kemudian, sembari mengobrol, si anak sibuk mengurus pancing-pancingnya. Dia cek satu persatu, tarik, lempar, tarik, lempar. Kalau umpan habis, dia pasang lagi. Umpannya pelet.

“Di sini ada ikan bawal yang besar-besar loh. Biasanya di pinggiran. Bapak pernah dapat 3kg (1 ekor), umpannya pakai bunga. Kalau mancing bawal, biasanya juga pakai mendoan, kalau pelet ndak mau,” si anak kecil itu melanjutkan ceritanya.

Saya mengangguk. Dalam hati, wah pintar dia. Dengan polosnya juga bercerita. Di sela ceritanya, dia juga sibuk dengan bolak-balik angkat ikan karena kailnya disambar.

Semua orang yang ada di sana, tampak senang melihatnya. Juga ayahnya. Dia juga sering berlarian menuju ayahnya, kemudian tampak si bocah memerhatikan bagaimana ayahnya memancing dan mengangkat ikan.

Pemandangan ini menimbulkan bahagia. Menghibur pemancing-pemancing lain yang mungkin mulai bosan karena umpannya tak kunjung disambar ikan.

Pemandangan ayah dan anak yang lain pernah juga saya temui di tambak tempat mancing yang sama, beberapa waktu lalu. Tapi agak tak mengenakan.

Si ayah beberapa kali melempar kail, tapi senarnya nyangkut sana-sini. Beberapa kali lemparan juga senarnya nyangkut ke pohon waru yang memang sengaja ditanam untuk jadi peneduh. Pokoknya, tingkahnya membuat pemancing lain tak nyaman.

Ternyata, si ayah ini juga membawa serta anaknya. Perkiraan masih SD kalau saya lihat. Si anak juga memancing. Tapi lemparannya seringkali gagal, bukannya kail masuk tambak, malah nyangkut di pohon waru. Sama seperti ayahnya.

Karena tak bisa membetulkan, otomatis dia minta tolong pada ayahnya. Memang ditolong, tapi sambil dimarahi oleh ayahnya karena dianggap menyusahkan, mengganggu waktu mancingnya. Lhaa!

Pemancing lain yang melihat, hanya bisa geleng-geleng kepala. Enggan berkomentar. Beberapa tersenyum kecut.

Tingkah ayah dan anak yang saya lihat di pemancingan berbeda waktu itu, memberikan pelajaran, setidaknya bagi saya. Like Father Like Son, buah apel tak jauh dari pohonnya.

Bagaimana dua orang ayah itu memerlakukan anaknya berbeda, dan hasilnya berbeda. Setidaknya; satu membuat senyum, satu membuat geleng-geleng kepala.

Belajar memang tak hanya di dalam kelas ya, di tambak pun ada pelajaran berarti.

 

 

FOTO EKA SETIAWAN

Suasana pemancingan di Tapak, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, Sabtu (14/7/2018) sore.

 

Komentar

Tulis Komentar