Canggih Belum Tentu Benar

Other

by Eka Setiawan

 

Penulis: Nurshadrina Khairadhania

“In two hundred meters,turn right”. Suara ini tak asing didengar oleh para pengguna smartphone, khususnya bagi mereka yang sering mengadakan perjalanan: Google Maps!

Peta digital itu membuat perjalanan terasa lebih mudah. Selain menunjukkan rute, bisa juga dia memberikan informasi mana jalan macet mana yang lancar. Memudahkan!

Tak perlulah sekarang untuk mengetahui rute, kita membawa peta kertas sebesar papan triplek. Merepotkan!  Sekarang, cukuplah membawa smartphone, kuota dan sinyal bagus, alamat dapat dengan mudah dituju.

Tapi ternyata, informasi yang diberikan itu tidak lantas 100 persen benar. Buktinya, masih ada beberapa juga yang malah nyasar ketika hendak bepergian mengandalkan peta digital itu. Melupakan “Google Maps manual” hehehe yakni bertanya ke orang di pinggir jalan.

Peta digital itu adalah salah satu produk dari perkembangan zaman diiringi kemajuan teknologi. Orang-orang terus berinovasi, bahkan kini berbagai segi kehidupan manusia mulai ada campur tangan robot: mesin buatannya sendiri.

Namun demikian, sekarang masih banyak orang juga yang mencari referensi ataupun bertanya pada orang lain, sesuai pakarnya. Misal; kita mau ke suatu kampung menuju sebuah alamat, pastilah orang kampung itu lebih tahu tentang jalan dengan informasi lain yang detil dibandingkan perangkat apapun.

Jika kita bertanya pada warga kampung itu soal alamat, amatlah benar, karena dia memang ahlinya di bidang itu. Di sini, teknologi tidak serta merta ditinggalkan, namun hanya sebagai informasi pendukung saja. Mayornya tetap manual.

Teknologi memang telah memberikan banyak solusi dan manfaat untuk membantu berbagai sendi kehidupan. Semua bisa dipelajari berkat kemajuan teknologi. Lewat online ini, berselancar di dunia maya, menyediakan dengan praktis semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang kerap muncul di benak kita.

Bisa jadi, karena online inilah anak usia 16 tahun sudah bisa merasa paling paham tentang agama secara kaffah tanpa harus jauh-jauh belajar hingga ke universitas-universitas, ke guru-guru, ataupun berbagai sumber ilmu lainnya. Akibatnya, bisa positif bisa juga tidak.

Positif, misalnya; informasi bisa lebih mudah dan cepat didapat. Tapi di satu sisi, karena asyik dengan dunianya sendiri (online), kadang si anak jadi lupa bahkan tak mengetahui, sebenarnya di luar sana, di dunia nyata, tersedia pula berbagai sumber ilmu.

Nah inilah yang bisa jadi dampak negatif teknologi jika tak digunakan secara bijak, minimal orang tuanya ikut mengawasi. Jangan sampai, karena “malu bertanya, jadi sesat di jalan!”

Bagaimana tidak tersesat, standar kebenaran bisa berubah: apapun yang tersedia secara online, misal di Mbah Google, itulah 100 persen betul. Kan ini jadi kacau, kalau tak dibarengi sifat kritis dan rasa penasaran yang disusul mencari semacam second opinion.

Bisa jadi, perasaan takut, susah bergaul dengan lingkungan sosial, membuat mereka itu akhirnya memilih menyendiri di depan layar-layar digital dan berselancar bersama Mbah Google. Ini bisa menjadi miris, jika kabar maya itu dipercaya penuh tanpa verifikasi.

Padahal, Alquran sudah ada semacam pentingnya verifikasi. (lihat Q.S. Al-Hujurat:6). Bagaimana kita tahu, siapa yang ada di balik layar itu? yang memberikan sajian berbagai informasi di dunia maya.

Bukankan Tuhan mengatakan: “Dan Kami tidak mengutus (Rasul-Rasul) sebelum engkau, melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui” (Al-Anbiya:7).

Teknologi bukanlah standar kebenaran. Teknologi itu buatan manusia. Kan, manusia saja bisa salah, apalagi buatannya? So, kenapa kita tidak mencari ahlinya saja untuk mendapat jawaban-jawaban pertanyaan kita.

 

FOTO EKA SETIAWAN

Seorang pengunjung mengamati salah satu karya di ajang Pameran Kartun Internasional bertema Literasi Media yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah, di Kota Semarang. Foto diambil 9 Mei 2018.

Komentar

Tulis Komentar