Titik Balik Penanganan Terorisme

Other

by Eka Setiawan

 

Oleh: Noor Huda Ismail

Lima anggota Densus 88 telah gugur dalam menjalankan tugas negara minggu lalu (8/5/2018). Mereka dibantai secara sadis oleh beberapa pelaku dari 150an tahanan yang sebagian mereka adalah pendukung NIIS (Negara Islam di Irak dan Siria) di Mako Brimob, Depok.  Menyikapi aksi terorisme pola baru ini, Presiden Joko Widodo menyatakan secara tegas bahwa negara tidak boleh kalah dan takut menghadapi teroris.  Pernyataan presiden ini penting dicermati dalam konteks politik nasional yang semakin memanas ditambah dengan percaturan politik global yang tidak menentu, terutama yang berkaitan dengan dunia Islam di Timur Tengah. Lalu, bagaimana masa depan ancaman terorisme di Indonesia setelah peristiwa mengenaskan ini? Selain peran utama negara, adakah peran masyarakat sipil dalam penanganan terorisme?

Pertanyaan di atas penulis munculkan sebagai upaya untuk melihat aksi terorisme di Mako Brimob tersebut bukanlah sebagai titik akhir dari sebuah upaya kelompok kecil yang merasa tertindas yang mengaitkan aksi mereka dalam pusaran konflik di Timur Tengah, utamanya di Irak dan Siria. Melalui sayap resmi media NIIS, Amaq News Agency dalam bahasa Arab memberitakan tentang aksi yang dilakukan oleh para teroris ini dengan mengatakan: “Baku tembak sengit berlangsung antara para pejuang Daulah Islam dengan para personil Densus 88 di penjara Kota Depok, Selatan Jakarta”.

Meminjam klasifikasi strategi gerakan politik ala Antonio Gramsci (1891-1937) dalam ‘The Prison Notebook’ (1971), para teroris ini sedang melakukan dua strategi perlawanan. Gramsci menyebut yang pertama sebagai ‘war of movement’, yaitu mereka yang melakukan konfrontasi langsung dengan aparat melalui aksi kekerasan kepada Densus 88. Hal ini karena mereka dianggap sebagai kaki tangan terdepan rezim ini. Agar proses internalisasi kebencian mereka menggumpal menjadi sebuah kepercayaan yang bernuansa agama, maka para teroris ini menjuluki Densus 88 ini sebagai “anshorut thaghut” (istilah Bahasa Arab yang berarti “para penolong rezim yang dzalim”).

Strategi kedua adalah ‘war of position, yaitu para teroris dan pendukungnya yang melakukan perlawanan dengan menciptakan ‘budaya tandingan’ (counter culture) atas arus budaya utama yang ada. Yang dimaksud dengan ‘budaya’ di sini adalah seluruh aktivitas yang mendukung gerakan mereka ketika mereka sedang tidak berkonfrontasi fisik dengan aparat. Gerakan budaya ini tercermin dalam perilaku keseharian mereka dalam menjalani hidup mulai dari cara berpakaian, musik yang didengarkan, pilihan bahasa, cara memilih pasangan, membangun lembaga pendidikan, membangun tempat ibadah dan lain-lain.

Semua bentuk budaya tandingan tersebut dikemas secara ciamik melalui sayap propaganda mereka yang lincah dan kreatif di berbagai platform media sosial mulai Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp dan juga Telegram. Misalnya saja begitu muncul foto dan video di media sosial tentang satu anggota mereka yang tewas, maka secara organik mereka melakukan penggalangan dana bagi keluarga yang ditinggal. Tidak hanya itu, kematian sang teroris ini kemudian dirayakan sebagai sebuah kesyahidan yang akan menginspirasi tidak hanya bagi para pendukung lelaki NIIS tetapi justru bagi para perempuan mereka.

Tanpa bermaksud menyebar ketakutan, penulis yakin bahwa drama teror di Mako Brimob ini harus dibaca sebagai puncak gunung es dari sebuah bangunan perlawanan yang terstruktur, terencana dan berkelindan di tingkatan mikro (individu), messo (kelompok/nasional) dan juga makro (global). Pada analisa tingkatan mikro (individu), pertanyaan yang sering muncul adalah: “Manusia macam apakah para teroris ini hanya karena urusan sepele seperti makanan bisa memicu mereka menjadi monster menyeramkan yang dengan sangat kejam mereka memprotoli gigi IPTU Sulastri (39), satu-satunya anggota Densus 88 perempuan dan membunuh 5 anggota Densus 88 lelaki? Normalkah mereka? Ideologi macam apa yang menggerakan mereka ini?

Ironisnya aksi mereka menggunakan simbol agama, terutama Islam. Namun pemakaian kekerasaan dalam mencapai tujuan politik ini tentu bukanlah monopologi orang Islam dari negara berkembang seperti Indonesia saja. Misalnya saja Hannah Arent (1906-1975), seorang Yahudi yang berhasil menyelamatkan diri dari pembunuhan Nazi Jerman yang kemudian diminta oleh majalah Amerika, The New Yorker melakukan laporan jurnalistik pada persidangan Adolf Eichmann, salah satu arsitek Holocaust, di Jerusalem. Dalam laporannya itu, Arent menyimpulkan bahwa Eichmann adalah orang biasa yang normal. Arent menyebut fenomena ini sebagai ‘Banality of Evil’ (2006) atau kenormalan seorang setan. Benar bahwa aksi para teroris di Mako Brimob itu adalah layaknya aksi setan.  Namun, secara psikologis, mereka ini tidak sedang menggalami gangguan mental. Dengan kata lain, mereka adalah orang normal (Horgan 2014).

Oleh karena itu, sebagai seorang akademisi dan praktisi keamanan, Kapolri, Jendral Polisi Prof Dr Tito Karnavian secara hati-hati menjelaskan dalam keterangan pers-nya bahwa ada dinamika di dalam kelompok teroris ini. Ini artinya, meskipun mereka tertangkap aparat karena terlibat dalam pelanggaran tindak pidana terorisme, tidak semuanya adalah pelaku utama dan kemudian mengeras ketika di dalam penjara. Tidak sedikit justru ketika di penjara ini mereka kemudian sadar dan ketika bebas menjadi pegiat perdamaian. Contoh nyatanya adalah tokoh karismatik JI, Ali Fauzi, adik tiri dari pelaku bom Bali pertama yang telah ditembak mati oleh aparat, Ali Ghufron dan Amrozi, yang sekarang tinggal di Lamongan dan memimpin sebuah lembaga swadaya masyarakat melawan radikalisme.

Lalu apa bedanya antara teroris lama yang lahir dari rahim JI seperti Ali Fauzi dan teroris baru pendukung NIIS di Mako Brimob ini? Penulis menanyakan pertanyaan ini pada salah satu mantan narapidana terorisme dari kelompok JI yang pernah menjadi tahanan di Mako Brimob Depok dan berbagi sel dengan narapidana terorisme pendukung NIIS. Secara tegas ia menjawab: “Para pendukung NIIS punya pemahaman yang lebih ekstrim karena sempitnya pemikiran mereka. Mereka terekrut secara individu oleh pengaruh propaganda dan pemahaman radikal di internet dan media sosial. Hal ini menyebabkan mereka cenderung egois dan bersikap keras terhadap orang-orang yang berseberangan dengan mereka.”

Barangkali, ia ingin mengatakan bahwa teroris JI lebih “sopan” dan bisa diajak dialog dan bahkan bisa menghormati para jenderal polisi yang menginterogasi mereka. Memang penulis melihat tidak sedikit dari para mantan narapidana teroris JI ini justru sekarang bersahabat baik dengan aparat negara, meskipun tidak semua aparat ini beragama Islam, ketika mereka bebas dari penjara. Bahkan seorang jenderal polisi berhasil menyekolahkan seorang mantan tahanan teroris ini hingga mencapai jenjang doktoralnya.

Lalu kenapa terus saja jaringan terorisme ini terus muncul? Apakah hal ini berarti program deradikalisasi negara telah gagal?

Berdasarkan pengalaman bergerak dalam bidang penanganan terorisme sejak bom Bali 2002 baik sebagai wartawan, aktivis sosial dan sekarang menjadi akademisi, penulis untuk sementara menyimpulkan bahwa sangatlah tidak mudah mengubah ideologi seseorang. Apalagi jika proses ideologisasinya berlangsung selama bertahun-tahun.  Oleh karena itu, penulis lebih memilih metode yang lebih pragmatis yaitu dis-engagement.  Metode ini lebih fokus pada aspek perubahan perilaku (behaviour) para mantan narapidana terorisme dari pada mengubah cara pandang (cognitive). Artinya, selama para mantan narapidana teroris ini tidak menggunakan kekerasaan dalam mencapai tujuan politik mereka, penulis masih menganggap sebuah intervensi sosial itu berhasil. Meskipun secara ideologi tidak bisa seratus persen berubah. Ibarat seorang pecandu rokok, memang ia bisa berhenti merokok. Namun, tidak berarti ia tidak akan tergoda untuk tidak merokok lagi jika kondisi memungkinkan. Perlu adanya upaya kolektif mulai dari diri seorang perokok, lingkungan sosial dan juga industri rokok itu sendiri.

Nah, dalam konteks aksi terorisme di Indonesia, para pelaku ini seringkali mendapatkan oksigen dari lingkungan sosial politik yang ada. Mereka hidup di sebuah komunitas yang selalu menilai bahwa terorisme itu adalah sebuah “proyek Barat yang menyudutkan Islam” atau “pengalihan isu terhadap naiknya dolar” atau “ permainan inteljen” dan tanggapan-tanggapan miring lain. Bisa jadi tudingan itu benar. Salah satu mantan ketua KPK 2010-2011, Dr Busyro Muqoddas dalam bukunya, Hegemoni Rezim Intelijen Sisi Gelap Peradilan Kasus Komando Jihad, menyimpulkan bahwa Komando Jihad adalah operasi khusus (opsus) intelijen yang dipimpin oleh Ali Murtopo untuk menyasar para mantan tokoh Darul Islam.

Namun, penulis juga sepakat dengan apa yang disampaikan oleh mantan narapidana JI di atas bahwa internet terutama dengan marak dan murahnya media sosial ini telah mengubah pola perekrutan dan penyebaran propaganda kelompok terorisme ini. Mereka bergerak melakukan aksi aksi individu (lone wolf) untuk menyerang siapa saja yang dianggap musuh. Inilah kenapa seorang anggota intelmob, Bripka Frence tewas ditusuk dengan pisau oleh, barangkali, pendukung NIIS di Mako Brimob pada Jum’at (11/5/2018). Yang menyatukan para teroris ini hanyalah sebuah kesamaan ide dan fantasi menjadi tentara-tentara dawlah-nya Abu Bakar Al Baghdadi yang diproduksi dalam budaya tandingan mereka.

Betul aksi mereka lokal namun digerakkan oleh imaginasi politik global (Anderson 2006). Seperti video yang tersebar di media sosial, para teroris ini melakukan sumpah setia untuk rela mati dengan mengatakan: “… Kami berjanji akan setia dan patuh dalam keadaan susah dan senang kepada Syaikh Abu Bakar Al Baghdadi Al Quraisy, walaupun akan menelantarkan jiwa kami. Dan kami tidak akan pernah merampas kekuasaannya, sebelum kami melihat kekufuran yang nyata. … Daulatul Islam...Baqiyah (istilah Arab bermakna “jaya”).”

Dengan paparan di atas, penulis merasa bahwa negara tidaklah bisa menyelesaikan sendiri permasalahan terorisme ini. Peran serta dari masyarakat, terutama para pemimpin agama, pendidik, orang tua sangatlah penting. Masalah terorisme ini adalah masalah kemanusiaan yang tidak akan selesai dalam waktu dekat siapapun presidennya nanti setelah pemilu presiden 2019. Oleh karena itu, pilihan politik boleh berbeda, tapi marilah kita jadikan peristiwa teror di Mako Brimob ini menjadi titik balik penanganan terorisme dengan lebih serius dan komprehensif. Sebagai bangsa, terorisme haruslah menjadi musuh bersama. Musuh ke-bhinneka tunggal ika-an kita. Wa-Allahu a’lam.

 

 

 

Komentar

Tulis Komentar