Parade Kontroversi

Other

by Kharis Hadirin

Baru-baru ini, publik jagat maya dikejutkan oleh sebuah video yang beredar di berbagai media sosial. Bak bola liar, video tersebut pun viral dan memperoleh berbagai respon beragam dari berbagai kalangan. Meski ada beberapa yang menganggap bahwa hal tersebut tak lebih hanya sebatas ekspresi semata, namun tak sedikit pula yang menghujatnya.

Bagaimana tidak, dalam video dan beberapa foto yang beredar tersebut, memperlihatkan serombongan anak-anak yang turut dalam sebuah parade karnaval dengan memakai atribut layaknya kelompok sipil militan lengkap dengan replika senjata AK-47. Peristiwa itu sendiri terjadi dalam kegiatan karnaval kemerdekaan 17 Agustus di Kota Probolinggo pada Sabtu, 18 Agustus 2018.

Sontak saja, pemandangan ganjil tersebut memancing reaksi dari masyarakat luas. Pasalnya, atribut yang dikenakan anak-anak kecil tersebut justru lebih menggambarkan pada parade kelompok ISIS bersenjata lengkap dengan topeng hitam mereka daripada parade karnaval pada umumnya.

Diketahui, bahwa anak-anak yang terlibat dalam parade tersebut berasal dari TK Kartika Kodim 0820 Kota Probolinggo dengan mengusung tema “Perang Rasulullah”.

Berdasarkan keterangan dari pihak sekolah, bahwa tidak ada unsur apapun atau kaitannya dengan kelompok manapun yang condong pada ideologi radikal yang akan mengancam keutuhan NKRI.

Hal itu diakui tak lebih dari sebatas ekspresi pihak sekolah dalam mengenang perjuangan Nabi Muhammad dalam melawan orang-orang suku Quraisy, salah satu klan terbesar di Kota Mekkah (Arab Saudi) yang banyak menghalangi dakwah Islam di Tanah Arab pada masa itu.

Pihak sekolah pun menambahkan, bahwa mereka tidak mengetahui sama sekali perihal atribut yang digunakan oleh anak-anak didiknya justru akan memunculkan berbagai reaksi dari banyak kalangan.

Terlepas dari persoalan tersebut, tentu sangat wajar jika publik memberikan respon beragam. Melihat bangsa ini juga memiliki catatan tersendiri terhadap kelompok tertentu dengan mendompleng atribut keagamaan untuk menciptakan teror di tengah kehidupan bermasyarakat.

Sebagai masyarakat, tentu kita masih ingat betul tentang peristiwa bom bunuh diri dengan menargetkan 3 gereja di Surabaya waktu lalu. Beberapa pelaku dengan berpakaian layaknya seorang muslimah bercadar, memaksa masuk ke dalam gereja di tengah umat yang sedang khusyuk dalam kidung. Namun siapa sangka, di balik busana muslimah yang mereka pakai, terselip bom aktif yang dililitkannya pada tubuh. Dan boom!

Peristiwa tersebut sesaat menghempaskan nalar pada titik terendah. Menisbihkan akal sehat yang menjadi pembeda antara manusia dan binatang. Seolah memaksa logika untuk berpikir secara jungkir balik.

Jenis orang tua seperti apakah yang tega melilitkan bom pada tubuh anak-anaknya, lalu mengandeng mereka untuk diumpankan pada kematian sebagai martir. Seolah hendak merayu Sang Pemilik surga dengan sebuah bom yang dililitkan di badannya, lalu meledakkan diri secara bersamaan. Seorang ibu dan dua orang putrinya meregang nyawa sebagai tumbal dogma yang mereka percayai akan mengantarkannya pada kehidupan taman surga.

Peristiwa karnaval di Probolinggo tersebut bisa menjadi pembelajaran bersama bagi para guru dan orang tua, bahwa tidak semua hal yang dipandang baik akan menjadi baik jika mengabaikan konteks dan realita. Karena yang terjadi, pesan positif yang ingin ditampilkan dalam bentuk visual, justru akan mengundang kecaman dan amarah banyak orang.

Dan pada hakikatnya, orang tua dan guru bertindak sebagai pemegang kendali akan dunia yang mulai berkembang dalam otak anak-anak mereka dan akan menjadi apa nantinya. Karenanya, memanfaatkan anak-anak kecil demi ambisi dan kepuasan semata tanpa mempertimbangkan efek psikologis dan kognitif mereka, justru akan menciptakan generasi baru yang nantinya akan menjadi musuh bersama.

Sebab sejatinya, anak-anak tetaplah anak kecil yang hidup dalam dunianya. Dunia bagi mereka bak tabularasa, putih tanpa noda.

Bukan saja tidak mungkin, memperkenalkan mereka dengan dunia kekerasan dalam konteks yang tidak sesuai dengan usianya tanpa bimbingan memadai, justru akan memberikan dampak buruk dalam proses tumbuh kembang mereka. Sekolah harusnya tidak abai dan mengacuhkan apa yang menjadi kebutuhan anak dan hal lain yang memberikan dampak negatif nantinya.

Meminjam teori Jean Piaget (2014) tentang psikologi perkembangan manusia, ia menekankan bahwa, “ A child’s mind is fundamentally different to an adult’s mind”.

Sementara, masa anak-anak selalu diidentikkan dengan masa ‘golden age’, suatu masa dimana anak-anak mengalami proses perkembangan otak secara signifikan di usianya.

Karenanya, tak heran jika para orang tua memanfaatkan momentum tersebut dengan memberikan pendidikan yang optimal agar kelak mereka tumbuh menjadi pribadi yang bisa memberikan manfaat bagi sesama, yang berbakti pada orang tua, agama dan bangsanya.

 

Sumber foto: https://www.theguardian.com/world/2018/aug/20/kindergarten-dresses-children-as-jihadists-for-parade-in-indonesia

Komentar

Tulis Komentar