Ancaman Residivisme di Tengah Krisis: Antara Kriminal Umum dan Terorisme

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Pasca dibebaskannya sebanyak kurang lebih 35.000 narapidana dari hampir semua lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia dalam program khusus yang dibuat oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) beberapa waktu yang lalu, banyak masyarakat yang justru merasa resah. Meskipun Kemenkumham mempunyai alasan khusus dalam membuat kebijakan tersebut, tetapi banyak kalangan yang menilai kebijakan itu malah kontraproduktif di tengah pandemi Covid-19.


Tidak sedikit yang justru khawatir hal itu akan meningkatkan angka kriminalitas di tengah kondisi yang semakin sulit. Godaan untuk mengulang kembali kejahatan serupa menjadi semakin besar bila dibandingkan ketika bebas di kondisi normal. Bagi masyarakat awam, kekhawatiran ini sangat masuk akal.


Memang faktor-faktor yang membuat seseorang kembali melakukan kejahatan yang sama itu beragam. Berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tetapi kondisi ekonomi masyarakat yang serba sulit di tengah pandemi Corona ini memang setidaknya bisa menjadi push factor yang kuat bagi terjadinya residivisme .


Bahkan untuk residivisme kasus terorisme pun tak luput dari pengaruh krisis kerena pandemi Corona. Baru-baru ini di Poso terjadi penyerangan polisi oleh dua orang DPO kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT).


Salah satu dari pelakunya adalah mantan napiter di lapas yang sama dengan saya dulu. Saya sempat bersamanya selama 4 bulan terakhir sebelum saya bebas. Dari rekaman CCTV yang beredar diketahui bahwa awalnya mereka sempat mencoba masuk ke dalam bank.


Saya sebagai orang yang pernah berada di dalam jaringan kelompok teroris sangat yakin tujuan awal mereka berdua adalah hendak merampok bank tersebut. Kondisi ekonomi yang sulit saat ini membuat pasokan logistik mereka (MIT) terganggu. Maka mereka mencoba menggunakan cara kekerasan untuk mendapatkan dana.


Ketika gagal masuk ke bank karena berhasil dihalangi oleh petugas sekuriti bank, mereka lantas tidak mau pulang dengan tangan kosong. Melihat kedatangan polisi bersenjata laras panjang yang akan mengamankan bank yang gagal dirampok itu, mereka berdua lantas memutuskan untuk menyerang polisi tersebut sesaat setelah memarkirkan motornya. Gagal dapat uang paling tidak bisa dapat senjata rampasan dari polisi itu. Begitu mungkin pikiran mereka.


Sialnya gagal juga. Polisi itu meskipun terkejut mendapatkan serangan mendadak, tetapi karena pasti lebih terlatih bisa melakukan perlawanan yang sengit. Walaupun sempat terkena tembakan tapi masih bisa melawan. Bahkan sampai berhasil membuat dua orang penyerangnya kabur dengan meninggalkan senjata apinya.


Fenomena residivisme di kalangan para pelaku kriminal umum dan terorisme itu telah menarik minat para ahli di bidang sosial, kriminologi, psikologi, dan bidang lainnya untuk meneliti dan membahasnya dalam forum. Rata-rata semuanya berbasis wawancara pelaku dan data yang dirilis oleh kepolisian.


Para ahli dan akademisi itu ramai-ramai membuktikan sebuah teori, menyempurnakan sebuah teori, atau menemukan teori baru yang lebih cocok pada suatu kasus. Menghabiskan banyak waktu dan biaya tentunya. Tapi sejauh yang saya tahu tidak ada yang sampai rela dipenjara hidup bersama para residivis demi menguji teori mereka.


Nah, kali ini ijinkan saya mengemukakan analisa dari hasil pergaulan saya bersama para residivis di penjara dan di luar penjara. Baik itu residivis kasus kriminal umum maupun kasus terorisme. Hidup selama 3 tahun lebih di penjara memberikan banyak sekali pelajaran berharga bagi saya. Salah satunya adalah fenomena resdivisme ini. Banyak cerita dan fakta yang saya dapatkan dari penjara.


Nantikan penjelasan lebih lengkap pada tulisan berikutnya.


ilustrasi: pixabay.com


Komentar

Tulis Komentar