Deradikalisasi Pelaku Teror Menggunakan Pendekatan Plato

Analisa

by Abdul Mughis

Rasionalitas menjadi kunci keseimbangan manusia.

Penanganan terorisme tidak berhenti dengan penangkapan pelaku teror. Penanganan tersebut masih terus berlanjut ketika pelaku teror menjalani hukuman di penjara maupun setelah keluar dari penjara.
Dalam proses ini, pemerintah menggunakan istilah Deradikalisasi. Tujuan Deradikalisasi di antaranya bagaimana menetralisasi paham radikal menggunakan pendekatan tertentu, baik sudut pandang hukum, psikologi, sejarah, agama, maupun filsafat.
Kepala Detasemen Khusus (Kadensus) 88 Irjen Pol Marthinus Hukom mengaku dalam proses Deradikalisasi ini pihaknya menggunakan penegakan filsafat. Dia mengadopsi gagasan Plato tentang jiwa manusia.
“Kata Plato, manusia mempunyai tiga bagian jiwa. Pertama, bagian jiwa yang berhubungan dengan keinginan dan kenikmatan. Kedua, bagian jiwa yang berhubungan dengan kebanggaan dan kemarahan, istilah Plato—Timaeus. Ketiga, adalah akal dan perhitungan,” bebernya, dalam kuliah umum bertema Spektrum Ancaman Terorisme di Indonesia yang diselenggarakan Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme, Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI), Selasa (20/9/2022).
Menurutnya, menangani orang-orang yang terpapar paham radikalisme, termasuk para mantan narapidana terorisme (Napiter), hal yang perlu dibangkitkan adalah rasio. “Karena rasio itulah yang akan menyeimbangkan antara keinginan, kenikmatan, kemarahan dan kebanggaan,” terangnya.
BACA JUGA: Belajar dari Bom Bali 1, Kadensus: Seperti Kethek Kena Tulup
Apabila seseorang mengedepankan “kebanggaan” terhadap sesuatu secara berlebihan, maka dia akan mencari “kekuasaan” tanpa menggunakan rasio. “Maka orang ini akan menguasai. Akhirnya yang terjadi adalah tindakan kekerasan,” jelas dia.
Begitu pun ketika orang mengejar keinginan dan kenikmatan tanpa menggunakan rasio, lanjut Marthinus, maka ujung-ujungnya adalah perilaku kekerasan. “Rasionalitas ini menjadi kunci keseimbangan manusia,” katanya.
BACA JUGA: Densus Tampak Hati-hati Tangani Pendanaan Teror Bermodus Donasi
Orang yang terpapar paham radikal biasanya cenderung mempertanyakan keadilan. “Tetapi keadilan itu subjective. Apakah semua orang yang merasa tidak adil itu menjadi teroris? Tentu tidak. Hal yang paling mempengaruhi adalah bagaimana manusia menggunakan rasionya untuk berselancar di tengah interaksi sosial,” terangnya.
BACA JUGA: Fakta Terorisme bukan Monopoli Satu Agama
Apakah Deradikalisasi saat ini sudah efektif? Marthinus menjelaskan bahwa Deradikalisasi adalah proses. “Terlepas ada yang belum berhasil, saya tanya berapa kali Anda bertemu dengan mereka? Karena Deradikalisasi itu membutuhkan pendekatan intensitas. Harus dilakukan secara intensif dan berkelanjutan,” bebernya.
Deradikalisasi, lanjut dia, membutuhkan proses panjang untuk membangun komunikasi secara seimbang. “Mulai bertemu, mengobrol, mendengarkan, dan seterusnya. Ketika pemikirannya masih keras pun, paling tidak mereka sudah mengurangi kekerasan,” katanya. (*)

Komentar

Tulis Komentar