Dinamika Pasca Bom Bali (3)
Otherby Arif Budi Setyawan 17 Oktober 2018 5:30 WIB
Tamu kami itu mempunyai perawakan sedang dan agak gempal dan mengaku berasal dari sebuah kota di Pulau Sumatera. Selama beberapa hari tinggal di tempat kami, tamu itu sering bercerita tentang pengalamannya pernah berjihad di Ambon. Cerita yang sangat menarik bagi saya karena belum pernah bertemu dengan orang yang pernah berjihad di Ambon.
Dia menceritakan tentang bagaimana pelatihannya, bagaimana keadaan kamp-nya, kondisi daerah yang dilanda konflik, kisah-kisah kekejaman yang dialami kaum muslimin di sana, keajaiban-keajaiban yang dialami ikhwan mujahidin dalam pertempuran, dan yang paling mengejutkan adalah bahwa dia berkawan baik dengan Imam Samudra.
Saya sangat takjub dan antusias sekali mendengarkan cerita-ceritanya. Saya kemudian berkesimpulan bahwa orang ini bukan orang sembarangan. Jaringannya pasti luas dan memiliki link dengan para alumni jihad Ambon yang tersebar di mana-mana. Wah, rasanya seperti bertemu dengan selebritis aja.
Tamu kami ini termasuk tokoh utama dalam cerita saya selanjutnya, oleh karena itu untuk memudahkan sebut saja ia dengan “Sang Tamu”.
Pada kesempatan yang lain, Sang Tamu itu juga menjelaskan bahwa perjuangan Imam Samudra dkk itu harus dilanjutkan.
“Jangan sia-siakan apa yang telah mereka lakukan itu”, katanya dengan wajah yang serius di beranda rumah kami waktu itu.
Saya yang jadi terkesima dan bersemangat karena bertemu dengan sosok pemain lapangan seperti dia langsung berkesimpulan bahwa orang itu pasti punya kemampuan untuk meneruskan perjuangan Imam Samudra dkk. Timbul rasa ingin ikut berpartisipasi jika memang akan meneruskan perjuangan itu. Kapan lagi akan terbuka kesempatan untuk terlibat dalam sebuah eksperimen jihad ?
Saya dan Sang Tamu menyebut apa yang akan kami lakukan sebagai eksperimen jihad melanjutkan eksperimen jihad yang telah dilakukan oleh Imam Samudra dkk. Mengapa disebut eksperimen jihad ? Karena kami ingin tahu sejauh mana jihad bisa dilakukan di Indonesia. Dan yang namanya eksperimen ya harus dilakukan sampai batas maksimal kemampuan kami.
( Dan sekarang saya menyimpulkan bahwa eksperimen itu tidak bisa dilakukan di Indonesia )
Begitulah. Saya kemudian bertanya kepada Sang Tamu :
“ Apakah saya bisa ikut berpartisipasi membantu tapi tanpa meninggalkan anak-istri dan orang tua ?”
Saya ingin membantu tapi sedari awal saya tetap ingin menjadi suami yang baik bagi istri saya, menjadi ayah yang baik bagi anak saya, dan menjadi anak yang baik bagi orang tua saya. Saya anak pertama sehingga tanggungjawab atas semua itu sangat besar. Hal inilah yang ternyata di kemudian hari cukup menjaga saya dari terlibat lebih jauh dalam kancah eksperimen jihad, dan juga membuat saya mudah menemukan jalan kembali kepada jalan yang benar.
Setelah berpikir beberapa saat Sang Tamu kemudian menjawab, “ Hmm…bisa itu akhi. Kalau begitu antum standby saja dan jaga komunikasi dengan ana. Nanti kalau ana lagi butuh bantuan yang sekiranya bisa antum kerjakan akan ana hubungi”.
Senang sekali saya mendengarnya. Ternyata bisa berpartisipasi tanpa meninggalkan tanggungjwab saya sebagai suami, ayah, dan anak. Wah…keren..keren..!
Sebelum Sang Tamu kembali ke kota asalnya, dia sempat memberikan beberapa wejangan agar saya lebih mantap lagi untuk ikut berpartisipasi dalam eksperimen jihadnya. Salah satu wejangan yang paling saya ingat adalah :
“ Sekarang ini ummat sudah banyak memiliki pejuang mimbar ( merujuk pada aktivis dakwah) tapi masih sangat minim memiliki pejuang lapangan (merujuk pada aktivis eksperimen jihad). Jadi ana senang sekali antum memilih untuk bergabung menjadi pejuang lapangan. Semoga antum bisa istiqomah”, begitu katanya.
Dan kata-kata ini memang ampuh mebuat saya semakin yakin dengan jalan yang saya ambil.
(Bersambung, In sya Allah)
Komentar