Perempuan yang Melawan Adat Pernikahan Anak Demi Kuliah

News

by Abdul Mughis

Pendidikan masih mahal bagi komunitas Orang Rimba atau Suku Anak Dalam di Jambi. Terlebih kaum perempuan. Mereka terjebak dalam kungkungan adat patrilineal. Fenomena pernikahan anak di bawah umur menjadi hal yang diwajarkan secara turun temurun.

Hampir semua orang tua Suku Anak Dalam itu buta huruf. Remaja putus sekolah menjadi pemandangan biasa. Usia belasan terpaksa menikah. Bisa lulus jenjang SMA saja sudah termasuk pencapaian berat.

Tetapi masih ada beberapa remaja Suku Anak Dalam yang bertarung untuk menaklukkan situasi yang menyesakkan dada itu. Namanya Juliana (20). Gadis lugu yang tinggal di Dusun Kelukup, Desa Dwi Karya Bakti, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi ini nekat melawan adat perjodohan pernikahan Suku Anak Dalam.

“Dia bersikeras tidak mau dipaksa nikah dini. Sebab, Juliana ingin melanjutkan kuliah. Saat ini semester 5 Program Studi Kehutanan Universitas Muhammadiyah di Kota Jambi,” ungkap Dewi Yunita Widiarti, Direktur Program Yayasan Pundi Sumatera, Sabtu (24/12/2022).

[caption id="attachment_14820" align="aligncenter" width="393"] Juliana, warga Dusun Kelukup, Desa Dwi Karya Bakti, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi, nekat melawan adat perjodohan pernikahan Suku Anak Dalam. (Foto Dokumentasi Universitas Muhammadiyah Jambi)[/caption]

Pundi Sumatera merupakan salah satu lembaga Non-Governmental Organization (NGO) yang selama ini bergerak dalam pemberdayaan Suku Anak Dalam di Jambi. Salah satu programnya membantu memfasilitasi layanan pendidikan, termasuk mengawal beasiswa kuliah untuk Juliana hingga lulus.

Juliana adalah satu-satunya perempuan dari Suku Anak Dalam yang melanjutkan kuliah,” ungkapnya.


Keberaniannya melawan adat yang keras itu bukan perkara mudah. Situasi ini membuat anak perempuan Rimba ketakutan. Sebab, akibat melawan adat—selain dikenakan denda materiil—perempuan Rimba bisa mendapatkan kekerasan fisik dari pihak keluarga.

“Intervensi dari lingkup internal kelompok Suku Anak Dalam sendiri sangat tinggi, mereka meminta agar berhenti kuliah,” katanya.

Juliana termasuk orang yang beruntung. Ketika dulu dia hendak dijodohkan oleh pamannya, orang tuanya berpihak kepada Juliana yang menolak perjodohan. Bahkan orang tua Juliana rela menjual kebun untuk membayar tebusan denda adat agar pernikahan itu dibatalkan.

“Setelah berunding dengan berbagai pihak, perjodohan Juliana akhirnya dialihkan ke sepupunya perempuan. Sepupunya itu bersedia,” katanya.

Yang menarik, lanjut Dewi, perjodohan Suku Anak Dalam bahwa orang tua dan anak itu sendiri tidak memiliki keputusan menerima atau menolak pinangan atau lamaran.

Perempuan Suku Anak Dalam berada dalam kendali paman dan nenek garis ibu terkait urusan pernikahan. Artinya, seorang paman dapat menerima atau menolak lamaran seorang lelaki terhadap anak perempuan yang berada dalam pengaruhnya.

[caption id="attachment_14821" align="aligncenter" width="447"] Dewi Yunita Widiarti, Direktur Program Yayasan Pundi Sumatera.[/caption]

Jadi, kalau pamannya sudah menerima mahar, maka anak perempuan itu tidak bisa menolak. Kalau dia menolak, dia harus membayar denda tiga kali lipat dari mahar yang diberikan. Tradisi itu hingga hari ini masih terjadi,” ungkapnya.


Intervensi dari kerabat dekat masih saja dialami Juliana saat berniat melanjutkan kuliah. Tidak jarang perjuangannya untuk kuliah menjadi bahan olok-olok maupun bullying. Ini cukup menjadi beban batin bagi Juliana.

“Itulah salah satu alasan kami memilihkan tempat kuliah di Kota Jambi yang cukup jauh dari rumahnya. Juliana tinggal di Kabupaten Bungo, perjalanan menuju Jambi dibutuhkan waktu delapan jam. Sebab, apabila masih tinggal di dekat dengan tempat tinggalnya diperkirakan Juliana tidak akan kuat,” katanya.

Juliana bertekat agar kuliahnya jangan sampai gagal atau putus di tengah jalan, sebab apabila gagal akan semakin mengendorkan semangat generasi muda lain yang ingin kuliah. Ia berharap agar dapat menginspirasi perempuan rimba lain, supaya tidak melakukan pernikahan dini.

“Memang, kasus pernikahan anak di sana masih sangat tinggi. Lulus pendidikan SMA itu sudah bagus betul. Bahkan Juliana ini perempuan pertama yang kuliah. Kalau laki-laki memang sudah ada beberapa yang proses kuliah,” katanya.

Membangun Kesadaran

Permasalahan pernikahan dini di kelompok Suku Anak Dalam  ini cenderung sulit dikendalikan karena telah mengakar dan menjadi budaya mereka turun temurun.

Bahkan dulu anak perempuan yang belum mengalami menstruasi pun ada yang dinikahkan. Pernikahan anak ini hingga sekarang masih terjadi. Sekarang usia 16-17 rata-rata sudah dinikahkan. Alasannya ekonomi, ketika menikah, tanggung jawab beralih ke suaminya,” katanya.


Pundi Sumatera bersama pemerintah daerah setempat, lanjut Dewi, pernah beberapa kali melakukan upaya pencegahan pernikahan anak di bawah umur. “Waktu itu ada dua anak perempuan yang sempat menangis meminta bantuan. Mereka masih ingin sekolah dan tidak mau dinikahkan. Kami coba mengumpulkan banyak pihak, meski hasilnya hanya menunda pernikahan saja sih sebetulnya, karena akhirnya nikah juga,” katanya.

Belajar dari kasus Juliana, kata Dewi, kesadaran dari orangtua dan anak itu sendiri harus tumbuh secara alami.

Kalau mereka punya cita-cita untuk masa depan, maka ya harus diperjuangkan. Kesadaran itu yang coba kami bangun. Sebesar apapun kita mendorong, tapi ketika anak dan orang tuanya lemah dan tidak memiliki kesadaran, itu tidak akan bisa terjadi. Belajar dari pengalaman Yuliana, kesadaran itu yang kita bangun,” katanya.


Beasiswa Bebas Biaya Kuliah hingga Lulus

Juliana memang memiliki motivasi dan kesadaran yang sangat kuat untuk sekolah. Bahkan dia berani memperjuangkan mimpi dan cita-citanya sendiri. “Ia mendapatkan dukungan yang besar dari orang tuanya. Itu yang membuat dia bisa bertahan. Yang kami lakukan hingga saat ini ya menguatkan,” ungkapnya.

Untuk mendorong Juliana mewujudkan mimpi, Pundi Sumatera melakukan kerjasama dengan Universitas Muhammadiyah Jambi berupa beasiswa bebas biaya kuliah hingga lulus.

“Sedangkan untuk biaya hidup Juliana selama kuliah di Kota Jambi sepenuhnya dari beasiswa Pundi Sumatera,” katanya.

Juliana hanya salah satu contoh kasus, sedangkan rombong atau kelompok dari Suku Anak Dalam ini jumlahnya sangat banyak dan menyebar sedikitnya di lima kabupaten. Selain Pundi, ada juga sejumlah lembaga lain yang melakukan pendampingan.

“Kondisi Suku Anak Dalam saat ini yang masih ‘asli’ paling banyak berada di hutan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Mereka masih tinggal di pondok-pondok di hutan yang mereka sebut Sudung. Aktivitasnya masih berburu. Bahkan yang perempuan masih ada yang telanjang dada,” katanya.

Dampak Deforestasi atau alihfungsi lahan, lanjut Dewi, mengakibatkan rombong-rombong Orang Rimba ini menyebar di hutan-hutan sekunder di lima kabupaten atau sepanjang jalur lintas Sumatera Wilayah Provinsi Jambi. Sebagian besar telah mendapatkan rumah hunian dari Kementerian Sosial (Kemensos).

“Mereka saat ini hidup tidak jauh dari desa. Tapi masih mengalami persoalan sosial, misalnya belum diterima oleh masyarakat sekitar. Mereka beradaptasi dengan lingkungan desa, belum bisa berbaur dengan masyarakat desa. Karena semula mereka hidup dengan pola nomaden—berpindah-pindah untuk berburu di hutan,” katanya.

Mau tidak mau, saat ini mereka harus belajar bertani, beternak, berkebun dan seterusnya. Pundi Sumatera mendampingi Suku Anak Dalam yang sudah menetap ini.

“Sekarang, kondisi mereka yang menetap ini sudah seperti masyarakat pada umumnya. Ada yang mualaf, ada yang kristen—dari sebelumnya penganut Animisme. Anak-anak sudah mulai sekolah, mendapat layanan kesehatan, meskipun masih tahap adaptasi. Permukiman mereka dikepung kebun sawit,” katanya.

Pundi Sumatera terjun melakukan pendampingan Suku Anak Dalam di Jambi sejak 2012 silam. Sedikitnya ada lima program utama, yakni program fasilitasi layanan administrasi kependudukan, program layanan kesehatan, program layanan pendidikan, program pengembangan sumber-sumber ekonomi alternatif, dan program advokasi kebijakan yang inklusif.

Program tersebut bertujuan untuk mendorong agar Suku Anak Dalam ini mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara.

Menurut dia, dulu kondisi komunitas ini seperti tidak tersentuh oleh negara. Tidak bisa mengakses layanan dasar kesehatan, pendidikan. Mereka terdampak alihfungsi lahan.

“Pasca hutan beralih jadi lahan perkebunan sawit, mereka mengalami kesulitan pangan. Sumber kegiatan meramu dan berburu semakin sulit,” katanya.

Pada akhirnya justru banyak terjadi konflik antara Suku Anak Dalam dengan warga sekitar maupun perusahaan yang melakukan alihfungsi lahan. “Mereka terpaksa harus mencuri hasil kebun milik orang lain dan seterusnya,” katanya.

Konsep Sekolah Alam Suku Anak Dalam

[caption id="attachment_14822" align="alignnone" width="768"] Suku Anak Dalam saat melakukan aktivitas sekolah alam. (foto dokumentasi Pundi Sumatera)[/caption]

Kondisi inilah yang melatarbelakangi Pundi Sumatera untuk melakukan program pemberdayaan Suku Anak Dalam. Sedangkan program beasiswa dimulai 2014 hingga sekarang.

“Kami mengembangkan pendekatan sekolah alam. Memperkenalkan anak-anak untuk membaca, menulis dan menghitung. Namanya sekolah alam, kami tidak mengenal tempat dan waktu. Konsepnya belajar sambil bermain,” terangnya.

Buta Huruf

Setelah mereka mengikuti sekolah alam, lanjut dia, pelan-pelan pihaknya melakukan pendekatan kepada para orang tuanya untuk meminta izin agar didaftarkan di sekolah formal. Pada waktu itu, kata Dewi, para orang tua di sana tidak serta merta mengizinkan anaknya untuk didaftarkan ke sekolah formal.

Tentu, kami tidak memaksa. Mereka merasa tidak punya biaya. Ketika kami masuk, hampir semua orang tua Suku Anak Dalam ini buta huruf. Akses mereka ke sekolah juga sangat jauh. Makanya anak-anak di sana dulu tidak ada yang sekolah,” katanya.


Pernah ada, lanjut Dewi, anak yang belajar di sekolah alam didampingi untuk mendaftar ke sekolah formal. Namun sekolah formal yang dikelola oleh pemerintah tersebut justru menolak.

“Jadi kondisi seperti itulah yang dialami Suku Anak Dalam. Stigma negatif komunitas ini—yang kotor dan jorok—masih menempel. Ketika mereka mengikuti sekolah alam, anak-anak ini sebetulnya memiliki perkembangan cukup baik,” terang dia.

Anak-anak ini memang tidak memiliki akses informasi seperti televisi maupun internet, sehingga minat belajar mereka cukup tinggi. “Ketika orang tua mengizinkan anaknya disekolahkan, dimulailah program beasiswa pada 2014. Program ini dilakukan untuk memastikan anak-anak ini bisa sekolah tanpa memikirkan kebutuhan perlengkapan sekolah lengkap seperti seragam, tas, sepatu, alat tulis, dan lain-lain yang kami gulirkan setiap tahun. Hingga saat ini masih berjalan,” beber dia.

Sejak 2014 hingga sekarang, pihaknya mengaku terus mengawal agar mereka bisa mendapatkan layanan pendidikan. Meskipun belum sepenuhnya maksimal.

“Beberapa anak dampingan kami ada yang kelas 3 SMP, kelas 1 SMA, putus sekolah karena dipaksa menikah. Budaya seperti itu menjadi tantangan yang belum bisa kami temukan jalan keluarnya. Tapi ada juga di antaranya mereka yang lulus Polri dua orang,” katanya. (*)

Komentar

Tulis Komentar