Mencari "Jalan Pulang" Kembali ke Pangkuan NKRI (1)

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Pasca Jamaah Islamiyah (JI) dinyatakan sebagai organisasi terlarang pada 2008, diperkirakan ada ribuan anggota yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Sebagian ditangkap karena terlibat aksi teror. Sebagian yang lain terkatung-katung dalam ancaman jerat hukum. Di sisi lain, mereka mencari "jalan pulang" kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dalam kurun hampir 3 tahun terakhir, penangkapan terduga teroris didominasi dari kelompok JI. Hal ini tidak lepas dari Undang-Undang (UU) Terorisme Nomor 5 Tahun 2018 yang memberikan kewenangan lebih luas kepada aparat untuk melakukan penangkapan dalam rangka pencegahan.

Pasal yang paling banyak digunakan sebagai dasar penangkapan anggota JI adalah Pasal 12A ayat 2 yang berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja menjadi anggota atau merekrut orang untuk menjadi anggota korporasi yang ditetapkan dan/atau diputuskan pengadilan sebagai organisasi terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun”.

Maka saat ini siapapun yang terbukti dan mengakui pernah berbaiat kepada JI, ia dapat dipidana minimal 2 tahun.

Menurut Kombes MD Shodiq (waktu itu masih menjabat sebagai Direktur Idensos Densus 88) dalam seminar virtual pada Oktober 2021, tercatat ada 6000-7000 anggota JI di seluruh Indonesia. Aparat penegak hukum telah menangkap dan memproses hukum 876 pelaku teror dari kelompok tersebut.

Kemudian muncul pertanyaan dari berbagai kalangan. Apakah sisa anggota JI yang belum diproses hukum itu mau ditangkap semua? Atau ditunggu sampai melakukan suatu tindakan yang menjadikannya layak ditangkap? Tidak adakah upaya lain yang bisa dilakukan agar sisa anggota JI itu bisa hidup normal kembali seperti masyakarat Indonesia pada umumnya?

Sebuah gagasan baru muncul di awal tahun 2021, ketika ada salah satu anggota JI Lampung yang menyerahkan diri kepada polisi. Ia menjelaskan semua perannya dan pasrah mau diapakan. Ia juga menyatakan ada banyak anggota JI yang bernasib serupa di Lampung.

Pihak Densus Satgaswil Lampung kemudian menawarkan sebuah gagasan bagaimana jika para anggota JI itu dikumpulkan dan dibina. Gagasan itu disambut baik dan singkat cerita di akhir 2021 terkumpul 120 orang yang kemudian menjalani proses assessment dan pembinaan.

Lalu pada Februari 2022 diadakan acara pelepasan baiat dan ikrar setia NKRI oleh 120 anggota JI yang berasal dari berbagai daerah di Lampung. Kemudian di akhir Mei 2022 disusul lagi oleh 51 orang anggota JI.

BACA JUGA:

Proses Panjang di Balik Ikrar Setia NKRI JI Lampung


Fenomena 171 mantan anggota JI yang melepaskan baiat dan ikrar setia NKRI di Provinsi Lampung telah menjadi perhatian berbagai pihak. Tidak hanya di Indonesia, bahkan menjadi perhatian di kawasan regional. Hal ini tidak lepas dari sejarah panjang kelompok JI di masa lalu.

Berbagai pertanyaan baru pun muncul. Bagaimana kelanjutan setelah ikrar setia NKRI? Apa yang dilakukan oleh pemerintah untuk membina mereka? Siapa pemangku kebijakan (stakeholders) yang berkewajiban membina mereka? Aturan mana yang akan menaungi proses pembinaan mereka, mengingat mereka bukan mantan terpidana teroris yang telah ada aturannya?

Untuk mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP) menginisiasi sebuah Focus Group Discussion (FGD) yang mempertemukan antara perwakilan stakeholders dan perwakilan mantan anggota JI yang telah ikrar setia NKRI. Untuk lebih maksimal, KPP juga mengundang perwakilan mantan narapidana teroris (Napiter) yang berdomisili di sekitar Bandar Lampung.

Persiapan acara tersebut telah dilakukan sejak pertengahan Agustus 2022 lalu. KPP melakukan sosialisasi kepada semua pihak yang akan diundang pada FGD tersebut dengan bantuan rekan-rekan mitra KPP di Lampung. (*)

Komentar

Tulis Komentar